Kamu melihat sosok itu di kejauhan. Dia terlihat dingin, tidak perduli seperti biasanya. Kamu mengamati bahwa hari ini penampilannya sama sekali tidak berubah. Dari model rambutnya yang berwarna semi coklat hingga ujung sepatunya yang berwarna putih dan jelas-jelas melanggar peraturan sekolah. Tentu saja kamu berani berpikir seyakin itu karena kamu memang menghapal setiap detail tentangnya, tentang kebiasaannya. Entah mulai dari kebiasaannya yang tidak pernah memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana seragam hingga kebiasaannya membuat jantungmu berdebar hanya karena melihatnya berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
Baiklah, faktanya adalah kamu memang menyukainya. Mencintainya, mungkin? Serta menginginkannya ada di sampingmu setiap hari selama kamu hidup? Kamu bahkan tidak bisa membayangkan laki-laki lain untuk menjadi pendamping hidupmu kelak. Ah, kamu selalu berpikir kamu sudah gila. Gila karena laki-laki itu. Gila karena menyukainya, dan gila karena tidak bisa mengenyahkan sosoknya dari pikiran dan hatimu. Kamu bahkan tidak bisa menghilangkan bayangan wajahnya yang dingin itu ketika itu muncul di memorimu.
Kamu sudah terlanjur menginginkannya, dan kamu sangat menyadari kenyataan itu sampai-sampai sebagian otakmu yang nekat itu merencanakan untuk mengenyahkan gengsi dan mulai mendekati cowok itu. Yah, cinta memang sudah membuatmu kehilangan sedikit kenormalanmu. Itu memang cinta, kalau begitu?
Dan bagimu, cinta itu bernama Kian. Kiano Joshua. Idolamu nomor satu. Sebab utama bila tiba-tiba kewarasanmu berkurang hampir setengahnya. Alasan utama yang membuatmu tersenyum. Memang hanya sesederhana itu.
You and Him © dianayu_ar
Kamu mendecak kesal sembari mengacak rambutmu pelan. Menyadari untuk kesekian kalinya sebuah fakta yang sama sampai-sampai kamu menghapalnya di luar kepala.
Sedingin apapun cowok itu, pesonanya memang mematikan. Walaupun ketidak perduliannya—terutama pada gadis—menduduki peringkat atas dalam sejarah sekolah kalian, masih saja banyak gadis mendekatinya, mencoba merayunya dan menarik perhatiannya. Hal itu kamu anggap menyebalkan. Sebabnya?
Karena walaupun kamu termasuk salah satu gadis yang menginginkannya, kamu tidak pernah mempunyai keberanian yang dimiliki gadis-gadis itu untuk mendekatinya, menarik perhatiannya ataupun sampai merayunya. Jangankan hal seperti itu, menyapanya saja enggan kamu lakukan karena kamu khawatir ketika kamu menyebut namanya, suaramu akan terdengar jelek dan tidak menarik untuknya.
Konyol memang. Cinta memang konyol. Apa itu berarti kamu benar-benar mencintainya?
Kamu melihatnya mengacak rambutnya, membuat rambut semi coklatnya yang tebal sedikit acak-acakan. Napasmu tertahan ketika mengamati—hanya mengamati—poninya kembali jatuh ke keningnya. Astaga, kamu ternyata sudah separah itu. Bahkan melihat poninya saja kamu sampai menahan napas. Lalu apa reaksimu bila melihatnya tersenyum?
Dia tidak terlalu tampan, memang, namun ia memiliki kharisma yang membuat hampir semua gadis terpesona. Dalam hati kamu mengumpat. Sial, laki-laki itu terlalu menyilaukan dan mempesona untuk matamu walaupun fisiknya tidak semembutakan itu. Terlalu sempurna bagimu walaupun pada kenyataannya dia tidak sesempurna itu. Kamu memang sudah separah itu.
Perlahan, kamu menyuapkan makanan yang kamu beli ke dalam mulutmu, meresapi rasanya tanpa coba berkonsentrasi untuk benar-benar menikmatinya. Kali ini temanmu—sahabatmu—sedang pergi ke perpustakaan untuk mencari buku bersama laki-laki yang sudah memiliki hatinya. Kamu cemburu, jelas. Kapan kamu bisa memiliki seorang pria yang memiliki hatimu yang akan selalu ada di sampingmu?
Tiba-tiba kamu tersentak. Tanpa kamu sadari, kini ada seseorang berdiri di depanmu, menunduk memadangi aktivitasmu mengunyah makanan yang sama sekali tidak lebih menarik dibandingkan sosok di depanmu itu. Kemudian oksigenmu menghilang—menipis karena sosok di depanmu itu adalah cowok yang kamu inginkan—selalu kamu inginkan itu.
Kamu menahan karbondioksida yang akan kamu hembuskan ketika mendengar cowok itu mengucapkan namamu sebagai kata pertama yang ia gunakan untuk menyapamu.
Astaga, kamu merutuki dirimu sendiri karena bereaksi memalukan seperti ini.
“Benar kan itu namamu?” tanyanya. Kamu hanya bisa mengangguk karena otakmu sibuk memproses bagaimana laki-laki di depanmu ini mengetahui namamu sementara selama ini dia tidak pernah melirikmu sekalipun. “Aku hanya ingin mengatakan kalau aku mau duduk di sini.”
“Apa?” Kamu melongo. Ini jelas-jelas perkembangan tidak terduga dan sama sekali tidak baik untuk kesehatan jantung dan paru-parumu. Serta reputasimu karena mungkin saja hal yang paling kamu khawatirkan itu akan terjadi. Mempermalukan dirimu sendiri di hadapan laki-laki ini.
“Apa ini artinya kamu menolakku?” balas laki-laki itu sambil menatapmu dengan sepasang mata itu—mata yang kamu sukai tapi tidak berani kamu tatap.
“Bukan seperti itu,” sanggahmu kemudian namun—tentu saja—tanpa menatapnya. “Aku...” Kamu mulai mencari kosakata tambahan untuk menjelaskan tentang para gadis yang pasti akan menngerecokimu dengan berbagai pertanyaan mendesak yang tidak kamu sukai sama sekali. Detik berikutnya kamu menyerah. Pesona laki-laki ini begitu mematikan untukmu. “Apa tidak bisa kamu mengusahakan agar jantungku tetap di tempatnya dan aku bernapas sesuai prosedur seharusnya?” katamu kemudian, mengabaikan makananmu dan mendongak menatap—bukan matanya melainkan—hidungnya. Astaga, kamu masih saja berpikir bahwa hidung itu sempurna di saat-saat seperti ini.
“Dan bisakah,” dia membalas, membuat jantungmu jungkir balik lagi karena kamu menyadari dia memperhatikan ucapanmu dan menaruh perhatian pada apa yang kamu katakan, “kamu tidak berbelit-belit dalam mengatakan sesuatu. Itu membuatku bingung.”
Kamu membuang muka dan mendengus dalam hati. Laki-laki di depanmu itu benar-benar hebat karena bisa membuatmu merasa bisa sekaligus tidak bisa dalam waktu yang sama. Kamu menyadari, tentu saja, bahwa kamu bisa menyederhanakan kata-katamu tadi menjadi lebih mudah dan lebih sederhana untuk dipahami. Namun pada waktu yang bersamaan, kamu tidak bisa mengatakan kalimat sederhana itu padanya, karena...
Well, tentu saja karena penyerdehanan itu menghasilkan kalimat : aku menyukaimu.
Baiklah, itu memalukan. Apalagi bila kamu yang mengatakannya. Pada laki-laki itu. Terlebih dahulu. Kamu belum segila itu.
“Sudahlah. Aku malas menjelaskannya,” katamu pada akhirnya. “Kamu bisa duduk dimanapun. Ini tempat umum.” Lalu kamu merutuki dirimu sendiri karena setelah mendapatkan kesempatan untuk menyapa dan berbicara dengan laki-laki itu, kamu melewatkannya dengan kata-kata bernada datar khas dirimu itu. Seharusnya kamu menggunakan kata-kata yang lebih manis.
“Memang sudah seharusnya, kan?” Alis laki-laki itu terangkat, lalu dia duduk di depanmu sembari masih terus menatapmu. “Tau namaku?” tanyanya kemudian.
Kamu, yang menyadari sedari tadi bahwa ia menatapmu, mendengus. Kamu tidak menyangka laki-laki itu sepolos ini. Di waktu yang sama, kamu ingin tertawa.
Tentu saja aku tau, bodoh, kamu membatin.
Aku menyukaimu! Itu alasan masuk akal kenapa tingkahku buruk seperti ini di depanmu.
Namun alih-alih mengatakan hal itu, kamu justru menyahut, “Tidak adil kalau kamu tau namaku sementara aku tidak tau namamu. Lagipula, bila aku mengatakan tidak tau, kamu pasti menganggapku lebih aneh lagi.”
Alisnya, kamu melihat, terangkat. Lagi.
“Menganggapmu lebih aneh?” beonya. “Aku tidak pernah menganggapmu aneh. Bagi sebagian orang, kamu dianggap unik. Dan, untuk menyenangkan hatimu saja, aku termasuk sebagian orang itu.”
Astaga. ASTAGA. Sejak kapan dia belajar merayu seperti ini? Jantungmu mulai bertingkah lagi dan kamu rasa saluran pernapasanmu mulai menyempit. Kamu berusaha sekali untuk bersikap normal di hadapan laki-laki ini, tidak memperdulikan kekesalanmu karena kamu selalu kehilangan napas untuk sekedar melihatnya saja.
“Apa itu rayuan?” tanyamu kemudian. Baiklah, kamu memang tidak manis sama sekali.
“Kamu menganggapnya begitu?” sahutnya. “Untukku itu hanya fakta yang akhirnya kuucapkan.”
Kamu bangkit berdiri. Sayang sekali kamu tidak bisa terlalu lama berada di sana karena sesuatu hal. Yah, sebab sebenarnya adalah karena kamu takut mempermalukan diri sendiri. Sebab kedua karena kamu ingin menghirup oksigen lagi. Sebab ketiga, laki-laki itu membawa suatu penyakit tak tertolong untukmu. Yeah, cinta.
You and Him © dianayu_ar
Seperti yang sudah kamu duga, usai kamu meninggalkan laki-laki itu menuju kelasmu kamu langsung diserbu gadis-gadis yang jumlahnya sekitar selusin yang sibuk bertanya kenapa seorang laki-laki seperti dia bisa berbicara dan bahkan bersikap ramah padamu.
Kamu tidak menjawabnya, tentu saja, karena kamu juga tidak mengetahui alasan dibalik sikap laki-laki itu. Jadi kamu hanya mengatakan kebenaran singkat itu yang tentu saja disambut gumaman sangsi dari kerumunan itu.
Sejak dulu kamu merasa gila sekali karena berani menyukai seseorang yang juga disukai oleh banyak gadis yang lebih segalanya darimu. Sejak dulu kamu selalu berpikir bagaimana jika dia tidak memilihmu. Pasti patah hati yang kamu rasakan akan menyakitkan sekali. Dia nyata namun sekaligus tidak nyata untukmu. Kamu bisa menyentuhnya, tapi kamu tidak pernah bisa melakukannya karena, yah, karena dia begitu sempurna di matamu. Keberanianmu tidak cukup untuk sekedar melakukannya.
Namun sepertinya itu sudah berlalu. Semoga.
You and Him © dianayu_ar
Apa dia—orang itu, orang yang kamu sukai itu—memang sepopuler ini? Jarak sehari dari peristiwa dia menyapamu saja kamu sudah menjadi hampir sepopuler dia. Benar, kamu. Gadis yang selalu dilirik setiap kamu melangkah kemanapun disertai dengan bisik-bisik yang entah bertopik kelebihanmu atau justru segudang kekuranganmu.
Dan fakta itu membuatmu semakin yakin bahwa apa yang kamu alami detik ini juga pasti karena sapaan laki-laki itu padamu tempo hari. Dia benar-benar sesakti ini.
“Kenapa seorang Kiano bertingkah seperti itu padamu?” tanya gadis senior paling berkuasa di sekolahmu, Clara. Toilet sekolah yang lumayan lapang inipun terasa sempit dengan kamu, sahabatmu yang kini ada di sisi kirimu dengan dua senior lain menjaganya di sisi kiri dan kanan, serta dua senior lain yang menatapmu dari atas sampai bawah. Oh ya, jangan lupakan senior paling berkuasa yang tengah memojokkanmu di dinding.
Pertanyaan yang Clara lontarkan adalah jenis pertanyaan yang dua hari ini menyesaki pikiranmu dan menyita perhatianmu.
Karenanya, kamu hanya menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala. Senior di depamu berdecak kesal. Tentu saja, sejak sepuluh menit yang lalu tidak satupun pertanyaan yang ia lontarkan menghasilkan jawaban berarti dari bibirmu. Memangnya apa yang bisa kamu jawab? Pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah sekumpulan pertanyaan yang ingin kamu ketahui jawabannya juga. Tentang kenapa seorang Kiano tau siapa namamu. Tentang kenapa Kiano bisa memilih untuk duduk di meja yang sama denganmu di kantin sekolah. Kenapa seorang Kiano bisa bersikap begitu ramah padamu padahal kalian baru pertama kali berbicara satu sama lain. Dan pertanyaan lain semacam itu.
“Kamu itu memang tidak tau atau memang tidak mau menjawab, hah?” bentak Clara tepat di depan wajahmu. Kamu tidak merasa takut atau cemas. Kamu hanya merasa risih. Kenapa di dunia nyata seperti ini ada juga adegan klise drama yang seringnya kamu saksikan di televisi? Adegan tentang penindasan siswa yang berkuasa di sekolah terhadap siswa yang menduduki kelompok
nobody. Dan kini kamu merasakannya. Kamu sebagai tokohnya.
“Kakak sendiri bertanya atau menindas?” Kamu mendengar suara sahabatmu. Dan kamu langsung berpikir bahwa sahabatmu itu sudah sangat-sangat gila.
“Berani menyela?” Kamu melihat sorot mata Clara begitu menakutkan yang otomatis membuatmu merutuki sahabatmu, Aya, seketika itu juga. Kenapa ia bisa menjadi sebodoh itu? pikirmu. Jika itu karena sahabatmu sudah jatuh cinta setengah mati pada cowok bernama Langit, kamu akan pastikan Langit bertanggung jawab sepenuhnya.
Namun bayanganmu tentang bagaimana cara Clara memutilasi sahabatmu hilang seketika ketika Clara menyiramkan seember air kotor bekas mengepel lantai padamu. Kamu mengumpat dalam hati. Apa senior di depanmu itu begitu menginginkan Kian dan begitu membencimu karenanya sampai-sampai dia berbuat sesuatu hal yang begitu menjijikan ini padamu? Kalau iya, kamu pantas menjulukinya
psycho.
You and Him © dianayu_ar
“Kamu sudah segila ini?” tanyamu pada sahabatmu ketika Clara dan gengnya meninggalkan kalian di toilet. Sementara sahabatmu hanya mendapat kemeja seragam yang basah kuyup, kamu mendapati dirimu sendiri basah kuyup dari kepala hingga sepatu.
“Segila apa maksud kamu?” balas sahabatmu itu. “Telingaku hanya gatal mendengar pertanyaan-pertanyaan bodohnya itu. Memangnya apa sih salahnya kalau lelaki itu seorang Kiano dan kamu seorang Ananda?”
“Apapun alasanmu, kamu tidak bisa bertindak segegabah itu,” ujarmu sambil memandangi bayangan dirimu sendiri yang dipantulkan cermin toilet. Kemejamu yang tadinya putih bersih kini kotor dan berwarna kecoklatan. Rambutmu basah, dan kotor. Bau badanmupun menjadi tidak enak. Kamu mendengus dalam hati. Jadi ini yang kamu dapatkan jika menyukai seseorang yang tidak seharusnya? “Sekarang coba pikirkan satu cara agar kita bisa pulang.”
“Tunggu sampai sekolah sepi,” kata sahabatmu itu, “lalu kita pulang. Kalau kamu malu, setidaknya aku menanggung malu yang sama.”
Kamu tidak menemukan cara lain selain apa yang sudah dikatakan sahabatmu selama lima menit berikutnya. Jadi kamu mengatakan padanya bahwa lebih baik kalian keluar sekarang. Semakin lama berada di dalam sana membuatmu kehilangan akal sehat dan kesabaran lebih banyak lagi.
“Apa yang kalian lakukan di dalam sana selama ini?” Suara itu masuk ke gendang telingamu begitu Aya membuka pintu toilet. Kamu kenal suara itu. Langit. “Kami sudah siap masuk jika kalian muncul satu detik lebih lama.”
Tunggu.
Kami? Kamu tidak perlu bertanya lebih jauh lagi karena detik berikutnya, kamu melihat dengan jelas bersama siapa Langit menunggu kamu dan sahabatmu di luar toilet gadis. Laki-laki itu. Selanjutnya kamu langsung berharap agar bumi menelanmu karena itu lebih baik daripada seorang Kiano melihatmu seperti ini—dalam penampilan yang begitu menjijikan ini—sekarang.
“Kenapa tidak masuk kalau begitu?” Kamu mendengar sahabatmu membalas perkataan Langit. “Merasa terlalu jantan untuk menghentikan tingkah laku menyebalkan dari segerombolan gadis populer yang tidak tau malu?”
“Lebih tepatnya, merasa dua gadis di depanku ini bisa mengatasinya sendiri.” Langit menyahut.
“Berhentilah merayu.”
Kamu tidak habis pikir mengapa dua orang yang jelas-jelas saling menyukai di depanmu ini begitu sering terlibat adu mulut yang tidak penting sama sekali. Bukankah itu tidak adil? Sementara sahabatmu bermain tarik ulur dengan cowok yang ia sukai dan menyukainya (si cowok melakukan hal yang sama) sementara kamu justru menyukai seseorang diam-diam dan tidak pernah mendapat keberuntungan agar kamu bisa berbicara dengannya sampai kesempatan itu datang dua hari yang lalu.
Kamu menghela napas. Memang begitulah dunia.
“Nah, Kiano,” Kamu mendengar Langit berkata sambil merangkul bahu sahabatmu, “sementara aku mengantar calon kakak iparmu ini pulang, bagaimana kalau kamu melakukan hal yang sama pada Nanda?”
Napasmu tercekat untuk yang kesekian kalinya hari ini. “Kakak ipar?” beomu.
“Dia kakakku,” Kiano berucap sambil menatap ke arahmu. Menatap. Padamu. Bagus, kakimu mulai melemas lagi. “Kamu tidak tau?”
“Tidak,” sahutmu jujur. Kamu melirik ke arah sahabatmu yang baru saja berhasil melepaskan rangkulan laki-laki yang disukainya itu.
Dia balas menatapmu sambil mengangkat bahu. “Aku tau.”
Dalam hati kamu berencana melakukan pembalasan sekejam mungkin pada gadis yang merangkap sebagai teman seperjuanganmu ini karena menyembunyikan fakta tentang hubungan Langit dengan Kian. Sementara kamu hampir tidak berani membayangkan bagaimana rumah Kian, sahabatmu itu justru pernah diundang makan malam oleh Langit dua kali.
“Aku pikir kamu tau,” ujar sahabatmu itu padamu kemudian. “Bukannya kamu tau segala sesuatu tentang—“ Dia tidak sempat menyelesaikan ucapannya itu karena kamu keburu menginjak kakinya. Karena kamu tau apa kelanjutan kalimat itu.
Yup, nama cowok yang berdiri tidak jauh darimu itu. Yang tiba-tiba saja mengajakmu bicara dua hari yang lalu.
“Aku tidak tau,” tandasmu sembari menerima pelototan dari Aya dan tatapan heran sekaligus tidak mengerti dari Langit dan Kian. “Mau pulang?” Kamu memasang senyum manis sekali pada Aya yang langsung menanggapi tingkahmu itu dengan mendengus. Tapi setidaknya dia mengangguk.
Dengan segera kamu melihat Langit merangkul bahu sahabatmu itu lagi. “Aku akan mengantarnya pulang.”
“Hei,” ucapmu, “kamu belum tau kalau aku dan dia itu satu paket? Tentang kamu yang berpacaran dengannya atau tidak itu bukan masalah untukku, tapi kalau kamu membawanya pergi dan meninggalkanku menanggung malu sendirian seperti ini, kamu dalam masalah, Langit.”
“Kamu tidak melihat laki-laki lain di sini?” balas Langit dengan ketenangan yang membuatmu ingin memukul kepala lelaki itu secepatnya. “Dia yang akan mengantarmu pulang. Dia laki-laki, Nanda.” Lalu pada sahabatmu, lelaki menyebalkan itu berkata sambil menariknya pergi, “Bajumu basah. Mau pakai baju olahragaku?”
Entah ini perasaanmu saja, atau Aya memang menggumamkan kalimat, “Kamu harus berterimakasih,” padamu ketika ia berjalan melewatimu. Ah, berjalan meninggalkanmu dengan Kiano lebih tepatnya. Dengan segera kamu merasakan hawa dingin menyapa kulitmu. Entah karena kamu sadar kamu hanya berada berdua dengan lelaki yang kamu sukai—atau kamu cintai—kini atau karena pakaianmu yang basah, kotor dan menjijikan dan kemudian angin berhembus.
Apapun itu, itu membuatmu merinding sesaat dan menyesal tidak membawa jaket setiap berangkat sekolah.
“Aku tidak bawa baju olahraga,” Suara itu menyusup ke gendang telingamu dengan mulus, membuatmu menoleh dengan enggan pada lelaki yang ada di sampingmu dan melihat lelaki itu tengah membuka kancing kemeja sekolahnya satu persatu, “hanya ada seragam ini.”
Kamu terkesiap. Apa yang akan dilakukan laki-laki itu dengan kemeja putihnya itu diluar pemikiranmu. Jadi kamu hanya diam saja sampai dia menyerahkan kemeja seragamnya itu padamu diiringi kata-kata, “Minimal ganti baju seragammu.”
Kamu melihat profil tubuhnya yang tinggi menjulang di depanmu. Begitu dominan bila dibandingkan dengan dirimu. Dengan baju seragamnya yang kini ada di tangannya, lelaki itu mengenakan kaus putih polos sebagai dalaman yang justru membuat profilnya semakin kamu sukai. Proses bernapasmu sempat terhenti sesaat ketika menyadari kaua itu begitu pas pada tubuh lelaki di hadapanmu.
Mungkin karena tidak kunjung menerima respon darimu, ia memperpendek jarak di antara kalian dan meraih tangan kananmu lalu meletakkan kemeja seragamnya di sana—di telapak tanganmu yang otomatis terbuka. Belum sempat kamu menormalkan proses bernapasmu, kamu sudah mendapat gangguan lain. Kali ini pada paru-paru dan kedua kakimu sekaligus.
Indera penciumanmu menangkap bau yang menempel pada sosok yang tepat ada di depanmu itu. Maskulin—perpaduan antara aroma parfum khas laki-laki dan aroma alami. Dan itu buruk. Sangat buruk untuk mencium aroma seperti itu saat ini, dari lelaki ini karena ada kemungkinan kamu akan meleleh ke lantai karena aroma itu sendiri.
“Ganti baju seragammu,” perintah lelaki itu. Nadanya tak terbantah. Sedikit
bossy, menurutmu, namun kamu menyukainya karena terdengar tegas di telingamu. Hah, apapun yang ada padanya pasti kamu sukai, bukan begitu? Karena kamu mungkin memang menyukai seorang Kiano.
Kamu mengangguk patuh dan masuk ke dalam toilet.
Tepat ketika pintu menutup di belakangmu, kamu merosot ke lantai. Seperti mimpi menerima pertolongan dari dia. Karena dia begitu dingin pada
hampir semua gadis yang mengelilinginya. Karena dia tidak pernah kamu bayangkan memberikan bentuk pertolongan seperti ini padamu sebelumnya. Karena dia adalah laki-laki yang kamu sukai dan mungkin kamu cintai. Karena dia
adalah seorang Kiano Joshua.
Perlahan kamu berdiri dan menghela napas dalam-dalam. Setelah kamu mengisi paru-parumu dengan oksigen dan mengeluarkannya lagi—menormalkan pernapasanmu—kamu membenamkan wajahmu dalam-dalam ke kemeja putih yang ada di tanganmu dan menghirup napas di sana. Kamu merasakan aroma yang kamu hirup saat ini membuat seluruh sarafmu rileks, namun pada saat yang sama kamu merasakan tubuhmu bisa saja meleleh ke lantai.
Mulai saat ini, aroma inilah yang akan menjadi aroma favorimu. Dan ternyata kamu memang segila ini, Nanda.
You and Him © dianayu_ar
“Sedikit kebesaran, tapi lebih baik begini daripada kamu kedinginan, kan?” katanya begitu kamu keluar dari toilet. Dia tidak bertanya kenapa kamu begitu lama berada di dalam sana. Kamu bersyukur karenanya. Kamu tidak bisa menjawab bahwa kamu menghabiskan waktu dua menit penuh menikmati bau tubuhnya, kan?
Usai berkomentar seperti itu, dia berjalan terlebih dahulu ke arah mobilnya terparkir. Sementara itu kamu mengikuti dalam diam di belekangnya sembari menjinjing tas ranselmu yang kelebihan muatan hari ini.
Tiba-tiba dia berbalik, membuatmu terpaku seketika. Dia menatapmu, lalu menatap jarak tiga meter yang kamu bentangkan antara kamu dan dia. Bukankah bukan apa-apa? Hanya tiga meter. Lagipula, kamu tidak mau terlibat kesulitan bodoh lain karena terlihat terlalu dekat dengan laki-laki itu karena cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung dia bisa jadi penyebab kematianmu. Bukan hanya karena senior-senior dangkal yang menindasmu tadi, melainkan karena jantungmu sendiri yang selalu berulah aneh jika kamu terlalu dekat dengannya.
Kamu mencoba membalas tatapan matanya itu dengan sorot mata apa-yang-salah, namun kamu tidak bisa. Jadi pada akhirnya, kamu menatap hidungnya yang cukup bisa membuat napasmu tersendat.
“Kenapa lambat sekali?” tanyanya dengan nada tidak sabar. “Apa tasmu memang seberat itu?” lanjutnya sambil menghampirimu dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia merebut tas berat itu dari tanganmu.
“Hei,” protesmu seketika. Kamu sendiri sedikit terkejut dengan respon yang kamu berikan. Yah, apa boleh buat. Sikapmu memang tidak manis.
“Apa?” responnya. Kamu tidak menyahut. “Sekarang seharusnya kamu bisa berjalan lebih cepat.”
“Tasku,” ucapmu. Lalu entah darimana munculnya, sikap tidak manismu kembali ada padamu. “Aku bisa membawanya sendiri. Benda itu tidak seberat itu kok.”
“Tch.” Dia mengangkat tas ranselmu hanya dengan tangan kanan, membuatmu sedikit iri akan kekuatannya. Yah, apa boleh buat. Perbedaan gender tidak bisa begitu saja dipersetankan. “Benda ini membuatmu berjalan lambat sekali. Aku akan membawanya. Titik. Awas saja kalau kamu tetap berjalan selambat tadi.” Lalu ia berbalik.
Kamu balas mendecih pelan, namun kamu langsung mengikutinya di belakang. Jarak antara kalian memendek dengan begitu cepat. Kini ia tidak sampai satu meter di depanmu, membuatmu harus sedikit mendongak untuk menatap puncak kepalanya sekaligus membuat jantungmu mulai sedikit berulah lagi.
Tapi kali ini, kamu tidak mempermasalahkannya. Debaran ini—entah kenapa—kali ini terasa begitu menyenangkan.
You and Him © dianayu_ar
Sebenarnya, kamu memang tidak menyukai keramaian dan seringnya memilih diam saja daripada harus memulai permbicaraan dengan orang yang baru saja kamu kenal. Tapi kamu khususkan pada saat ini, kamu memilih mengajukan pertanyaan.
“Kenapa kamu bisa ada di luar toilet tadi?” tanyamu. Sejujurnya, kamu kurang menyukai memulai percakapan ini, namun bila kamu tidak memulai kemungkinan mobil akan terus hening selama perjalanan menuju rumahmu. Masalahnya adalah, kamu menyukai suaranya menarik napas. Terdengar sedikit berat di telingamu, dan itu buruk karena kamu menyukainya.
“Aku pikir kamu pendiam,” responnya. “Ternyata bisa juga memulai percakapan.”
“Sepertinya pikiranmu berbeda dengan apa yang ada.”
“Tidak juga. Beberapa fakta yang aku tahu tentang dirimu ada benarnya,” kata lelaki itu sambil menyetir mobil. “Terakhir kali aku bicara denganmu, kamu tidak mempan rayuan.”
Kamu membantah dalam hati. Terakhir kali, waktu yang disebutkan laki-laki itu, kamu bukannya tidak mempan rayuan, namun hanya tidak ingin berada terlalu lama dengan laki-laki ini agar kamu tidak mempermalukan dirimu sendiri.
“Apa ini jawaban dari pertanyaanku tadi?” katamu mencoba kembali pada topik yang kamu anggap lebih aman. Kamu tidak sadar bahwa semakin kamu menghindari topik rayuan tadi, kamu semakin terlihat keren dan acuh bagi lelaki di depanmu ini. Yah, asal dia tidak tau kenyataan kamu mencium kemeja seragamnya dua menit penuh di toilet tadi.
“Bukan,” sahut lelaki itu. “Jawabannya adalah karena kakakku itu menyeretku ke sana.” Ia terdiam. Kamu juga tidak mengeluarkan suara apapun. “Sepertinya istilah ‘menyeret’ di sini kurang tepat. Dia bilang dia lihat kamu dan Aya dihadang oleh Clara sepulang sekolah tadi dan otomatis aku dan dia menunggu kalian di luar toilet.”
“Jadi Kak Clara tadi melihatmu?”
“Dia punya dua mata. Pasti aneh bila dia tidak melihat orang yang berdiri tepat di depannya sekeluarnya dia dari toilet.” Kamu melihat ia melirikmu sekilas. “Tenang. Dia tidak akan menindasmu lagi.”
“Tentu saja,” katamu refleks. “Karena dia pasti tau kalau besok aku akan mencoba menuruti kata-katanya.”
“Kamu tidak perlu,” Ia membelokkan mobilnya ke kanan, “menuruti kata-katanya. Kamu akan seaman Aya.”
“Untung kamu menyinggung soal itu,” katamu. “Langit populer, bahkan lebih populer dari kamu, kan? Lalu kenapa sahabatku, Aya, yang setiap hari pamer kedekatan dengan Langit tetap hidup sampai sekarang?”
Ia tergelak. Hatimu meleleh karena melihat senyumnya. “Pertama, kamu menganggap Langit lebih populer dari aku. Kedua, apa kamu mengharapkan sahabatmu sendiri tidak selamat selama di SMA?”
“Apa kamu memang suka sekali mengalihkan topik?” tukasmu langsung. “Pertama, bukankah memang kenyataannya seperti itu? Kedua, menurutmu bagaimana aku menghabiskan masa SMA tanpa sahabat? Memangnya aku seaneh itu?”
“Oke, oke. Aya tetap selamat sampai saat ini karena Langit. Di hari yang sama ketika dia mendekati Aya, dia mengatakan bahwa Aya itu temannya, sahabatnya, bukan pacarnya dan siapapun yang berani menyentuhnya pasti akan langsung dibereskan oleh Langit.” Ia mengernyit sesaat. “Aku menggunakan istilah aneh lagi. Pokoknya, seperti itu.”
“Jadi karena itu selama ini mereka tidak pacaran,” gumammu. “Aku jadi tidak tau apakah Aya yang bodoh dan terlalu polos atau Langit yang memang mantan
playboy.”
“Dia serius,” ucap lelaki di sampingmu. “Kakakku tidak akan bertahan dengan gadis yang dalam satu minggu tidak bisa dipacarinya. Dia serius.”
Seketika itu juga, kamu menghela napas dalam-dalam. “Jadi Aya memang sudah punya lelaki seperti itu, ya?” gumammu tanpa sadar.
“Kenapa?” Kamu baru sadar ia menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah. Dan kini dia menatapmu dengan sorot mata itu. Sorot mata yang seringnya menatap sekelilingnya tidak acuh namun di hadapanmu, sorot matanya sedalam ini. “Kamu belum menemukan lelaki seperti itu?”
Kamu tidak bisa langsung menjawab karena pikiranmu teralih sejenak ketika aroma favoritmu itu kembali masuk ke saraf penciumanmu. “Emm,” Kamu mencoba mengumpulkan fokus pikiranmu lagi, “belum. Memang aku secantik apa?”
“Secantik ini,” sahutnya. “Apa kamu belum pernah dengar bahwa di mata seorang pria, selalu ada satu sosok paling cantik untuknya? Walaupun gadis itu tidak secantik itu.”
“Aku baru dengar setelah kamu mengatakannya,” balasmu. “Dan tetap saja aku belum menemukan pria itu. Jika sudah, aku tidak akan ditindas oleh senior yang mengincarmu itu, kan?”
“Menyalahkanku?” Alis lelaki itu terangkat satu. “Tapi, Nanda,” Kamu suka caranya menyebut namamu. Dan kali ini, kamu berhasil untuk tidak melewatkan kesempatan mendengarnya menyebutkan dua silabel itu, “sepertinya kalau kamu menemukan lelaki itu, kamu tidak akan tertindas oleh orang-orang itu.”
Kini alismu yang terangkat satu. “Benar. Karena lelaki itu bukan kamu, bukan begitu?”
“Bukan,” sahutnya sambil kembali menjalankan mobil dengan sepasang mata yang kembali fokus pada jalanan di depan kalian. Namun detik berikutnya, dia menatapmu dan berkata, “karena jika itu aku, aku pasti tidak akan membiarkan hal itu.”
You and Him © dianayu_ar
A month later....
“Yogyakarta?” katamu dengan kening berkerut. “Kamu pernah bilang
Bandung is better.”
“
But Yogyakarta is cheaper,” ucap sahabatmu sambil memasukkan setumpuk baju ke dalam kopor. “Kamu yakin tidak mau ikut? Kenapa tetap di sini selama
long holiday? Karena Kiano?”
“Kenapa kalau kamu yang mengatakannya, alasan itu jadi terdengar dangkal, ya?” ujarmu sarkartis. “Aku ada kerja
part time seminggu ini. Kalau mood-ku bagus, aku akan menyusul.” Kamu membantu memilah celana
jeans yang akan dibawa sahabatmu. “Langit ikut?”
“Kamu pikir aku ke Yogya untuk
honeymoon, nona Nanda?” Sahabatmu mendelik.
“Ternyata bukan, ya?”
“
Japan is better.”
“Aku tau.” Kamu memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam ransel hitam milik Aya. “Lalu liburan ini, kakak beradik Kusnanta tetap di kota ini?”
Sahabatmu nampak mengingat-ingat sesuatu. “Sepertinya mereka akan kedatangan tamu dari Singapura. Rekan bisnis ayah, kalau tidak salah. Langit bilang akan anak gadis cantik yang datang.”
“Kamu mengatakan sesuatu seperti itu seringan ini?” tanyamu sangsi.
“Nanda,” ucap sahabatmu, “apapun yang kamu lihat, aku dan Langit tetap belum terikat hubungan apapun. Memangnya reaksi apa yang kamu harapkan?”
Kamu menggeleng. “Tapi kamu menyukai laki-laki itu, kan? Kamu tidak cemburu?”
“Jika kamu mendengar aku melempar baju-baju ini keluar lemari begitu mendengar kabar itu membuatmu senang,” kata Aya, “aku ikut senang.”
Seketika kamu tertawa. “Itu lebih baik. Aku tau kamu pasti cemburu.”
“Apa kamu harus sebahagia itu?” tanggap Aya sambil mendelik padamu lagi. Kamu hanya meringis. ”Sudahlah, dua jam lagi aku berangkat. Kamu sudah tau dimana aku menginap dan kamu akan menyesal bila tidak menyusul.” Ia mengerling padamu. “Sebelumnya, apa kamu dan Kiano sudah sedekat itu?”
“Kamu harus mencari ancaman yang lebih ampuh.” Kamu menarik risleting ransel hitam di hadapanmu. “Dan sedekat apa maksudmu?”
Kamu hanya pura-pura tidak tau dan hanya berbasa-basi dengan pertanyaan itu. Tentu saja kamu tau apa yang dimaksud sahabbatmu dengan ‘sedekat itu’. Sebulan terakhir, kamu menghemat uang transportasi karena Kian dengan rajin mengantarmu pulang dengan mobilnya. Banyak desas-desus tentang hubunganmu dan dia, namun tidak ada yang berani menindasmu. Entah karena enggan padamu atau karena Kian melakukan apa yang ia katakan dulu, kamu belum memastikannya.
Walaupun begitu, dia tidak pernah menggandeng tanganmu. Ada rasa syukur di sini karena kamu sendiri enggan membayangkan akibat dari genggaman tangannya pada jantung ataupun fisikmu serta mentalmu karena mungkin akan ada desas-desus baru. Namun ada juga rasa jengkel, setelah seperti ini, lelaki itu tidak pernah sekedar menyentuhmu.
Yah, kamu memang tidak terlalu mengharapkannya—mengharapkan kalian akan berakhir bersama dalam arti romantis. Baiklah, itu bohong. Kamu kini sudah melayang terlalu tinggi karena tingkah lelaki itu. Karena kata-katanya, senyumnya padamu dan tatapan matanya ketika menatapmu. Karena semua itu berasal dari seorang Kiano yang kamu inginkan, kamu sukai—dan mungkin saja kamu cintai.
“Hampir seperti aku dan Langit.” Sahabatmu memperjelas diskripsi kedekatanmu dan lelaki yang menjadi pusat duniamu itu. “Aku janji tidak akan melakukan sesuatu yang buruk padamu bila kamu jujur kalau kamu dan dia sudah pacaran.”
Kamu mendengus. “Dengar, Aya,” katamu. “Bukannya aku mempercayai ucapanmu tadi atau apa, tapi kenyataannya aku dan dia memang tidak pacaran.”
“Kamu tidak pernah bilang kalau kamu juga tertarik menjalin hubungan tanpa status.”
“Kamu juga.”
“Itu karena si bodoh itu belum mengatakannya padaku.” Sahabatmu mendengus. “Ungkapan ‘
Ladies first’ tidak berlaku dalam asmara.”
“Aku juga,” ucapmu. “Dan mungkin kamu juga terlalu polos untuk mau saja dengan lelaki seperti itu.”
“Kamu juga,” balas Aya.
Kamu langsung melempar bantal sofa yang ada di dekatmu pada gadis yang menjadi sahabatmu itu. “Kenapa kakak beradik itu begitu mirip, hah?”
“Kamu tidak bertanya pada ibu mereka saja? Mungkin belau lebih tau daripada aku.”
You and Him © dianayu_ar
Kamu mengamati kotak di tanganmu itu dengan perhatian penuh. Dunia pasti sudah gila ketika seorang Cahaya Natasha, sahabatmu sendiri, memintamu mengirimkan sebuah paket hadiah ulang tahun pada seorang lelaki yang kebetulan disukai oleh sahabatmu itu. Atau mungkin kamu sendiri yang gila karena bersahabat dengan gadis itu. Entahlah, kamu tidak tau yang mana yang lebih buruk.
Akan ada paket datang hari ini, kamu membaca ulang e-mail dari sahabatmu yang kamu terima pagi ini lewat ponsel,
tolong berikan pada Langit, oke? Kemarin dia berulang tahun. Kamu memang baik. Isinya adalah sesuatu yang akan membuatmu menyesal jika membukanya. Kamu mendengus untuk yang kesekian kalinya hari itu hanya karena ulah Aya.
P.S. Jika kamu tidak di sini tiga hari lagi, wajah Kiano tidak akan semenarik ini lagi.
Seperti kamu perduli pada fisik Kiano saja. Akan jadi sejelek apapun laki-laki itu, kamu belum tentu akan kebal terhadap pesonanya yang memang melebihi skala pada umumnya.
Kamu menghentikan kegiatanmu memikirkan apa sebenarnya isi kotak ini dan menyambar tas slempang kecil yang kebetulan ada di dekatmu. Ada paket yang harus disampaikan, ada bonus untuk itu. Kira-kira anak bungsu keluarga Kusnanta itu sedang apa hari ini?
You and Him © dianayu_ar
Kamu mengamati interior rumah yang begitu mewah ini. Keluarga Kusnanta memang sekaya ini. Desain-nya begitu mewah namun nampak elegan. Hal itu tidak lupa membuatmu menggerutu tentang Aya yang sudah pernah kemari dua kali.
Pembantu yang tadi menyambutmu di pintu utama mengatakan bahwa kedua kakak beradik Kusnanta tengah ada di halaman belakang, bersantai di tepi kolam renang. Kamu menghela napas. Begitu kontras status ekonomi di sini. Sementara kamu bekerja paruh waktu di tempat penyewaan DVD, ada orang-orang kaya yang menghabiskan waktu luang seperti anak-anak keluarga ini.
Langsung saja kamu menuju ke pintu yang tadi ditunjuk oleh si pembantu sambil menjinjing paket dari sahabatmu. Sejenak mengumpat padanya karena paket ini begitu berat. Kamu bertanya-tanya dalam hati apa yang dimasukkan Aya ke dalam kotak seukuran kotak sepatu ini sembari mendorong pintu yang menuju ke halaman belakang agar terbuka.
Sebenarnya halaman belakang rumah ini tidak kalah mewah dari ruang tamu yang tadi sempat kamu masuki. Hanya saja, apa yang tiba-tiba menyesaki fokus matamu membuatmu tidak bisa mengagumi tatanan alam itu dalam waktu yang lama.
Kamu merasakan oksigen seperti ditarik keluar dari paru-parumu. Dadamu tiba-tiba saja merasa sesak sementara kedua matamu mulai berair. Sebesar apapun keinginanmu untuk berbalik dan pergi dari tempat itu tidak ada gunanya sekarang karena seluruh saraf di kakimu seakan lumpuh sementara pita suaramu hingga detik ini tidak bisa mengeluarkan suara apapun.
Kamu sulit memikirkan hal lain selain satu-satunya hal yang saat ini juga kamu harapkan berhasil dan hal itu adalah mencampakkan seorang Kiano dari julukan ‘pusat duniamu’ karena setelah beberapa detik terlewat lelaki itu masih saja memeluk seorang gadis. Seorang. Gadis.
Harapanmu kembali jatuh ke tanah. Akal logismu kembali kepadamu. Mana mungkin seorang Kiano bisa menyukaimu, pikirmu. Kelebihan apa yang kamu miliki? Sudah kamu duga pasti lelaki itu memiliki gadis lain yang ia sukai—dan mungkin ia cintai. Dan gadis itu bukan kamu.
“Nanda?” Kamu berkedip sekali ketika telingamu menangkap suara itu—kedipan yang berfungsi ganda untuk menyamarkan adanya air mata di kedua matamu. “Kapan kamu datang?”
Kamu tidak menanggapi ucapan Langit itu. Kamu juga tidak perduli pada laki-laki lain yang ada di sana, yang ketika mendengar Langit menyebutkan namamu, ia langsung melepaskan gadis yang dipeluknya dan berbalik padamu. Kamu tidak menggubris keadaan sekelilingmu melainkan kamu langsung berjalan lurus ke arah Langit.
“Aya bilang kamu ulang tahun kemarin,” katamu. Suaramu sedikit serak, kamu sadar itu namun kamu tidak mempermasalahkannya. “Dia kirim paket dari Yogya. Entah kenapa dia tidak mengirimnya langsung ke sini.” Kamu mengangsurkan paket yang sedari tadi membebani tanganmu.
“Terima kasih,” ucap Langit sembari menerima paket itu. Kamu tidak memperdulikan sorot khawatir yang ada di kedua mata laki-laki itu. “Mau langsung pulang? Atau tinggal sebentar di sini?”
“Langsung pulang,” sahutmu, berusaha tidak menggubris suara tarikan napas yang kamu kenal yang kini berada tidak jauh darimu. “Aku ada kerja paruh waktu, kamu tidak tahu?”
“Kuantar—“
“Aku tidak mau menyusahkanmu,” potongmu langsung kemudian berbalik. Namun detik berikutnya, kamu berbalik lagi pada Langit, lelaki yang disukai sahabatmu, “Jika aku mendengar kabar kamu bermain-main dengan sahabatku, kupastikan riwayatmu tamat, Langit Reveno Kusnanta.”
Kamu mencoba tidak berlari ataupun berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Itu pasti akan menjadikanmu tambah bodoh dan pemimpi lagi jika saja ketiga sosok itu sadar kamu mengharapkan seorang Kiano membalas perasaanmu. Perasaan suka sejak ketika kamu mengamatinya diam-diam ataupun perasaan lain yang mengikutinya kemudian.
Kamu bersyukur rumah ini tidak terlalu jauh dari jalan raya sehingga kamu tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk bisa mendapatkan alat transportasi untuk pulang. Kamu mempertimbangkan untuk menghabiskan uang di kantongmu hanya untuk mengendarai taksi agar segera tiba di rumah. Baiklah, sebenarnya kamu tidak benar-benar mempertimbangkannya karena perasaanmu sudah kacau sejak detik pertama melihat adegan pemelukan tadi.
Tepat ketika kamu mendapatkan taksi, kamu mendengar suara itu. Suara yang biasanya dingin dan tak acuh itu. Namun kamu bertekad untuk tidak mempermalukan dirimu lebih banyak lagi, jadi alih-alih berbalik dan menghadapi laki-laki itu kamu justru segera masuk ke dalam taksi, menyebutkan alamat rumahmu dan meminta supir taksi agar segera menjauh dari tempat itu.
Dadamu terasa menyesakkan karena air matamu enggan mengalir turun lagi.
Jadi, kamu membatin,
beginilah rasanya patah hati. Lebih menyakitkan daripada penggambaran pada umumnya, bukan begitu?
Jika diibaratkan, orang yang kamu sukai itu bagaikan oksigen. Jadi ketika kamu merasakan patah hati yang otomatis membuat orang yang kamu sukai itu seperti bukan untukmu lagi, kamu merasakan oksigen seakan ditarik dari paru-parumu. Tidak heran rasanya begitu menyesakkan, kan?
Pikiranmu kembali melayang pada angan-anganmu yang berisikan pikiran tentang Kiano yang membalas perasaanmu. Begitu irasional, kamu akhirnya menyadari. Laki-laki itu bahkan tidak pernah menyapamu sebelum peristiwa satu bulan yang lalu. Kamu bahkan ragu dia menyadari eksistensimu sebelum itu dan kamu tetap mengharapkan dia menyukaimu—dan bahkan mencintaimu.
Love is blind. Benar.
Love makes someone becomes a fool. Sepenuhnya benar.
Detik ini juga, kamu memutuskan untuk berlibur—menjauh sejenak. Itu lebih baik, kamu pikir, daripada kamu diketahui menderita patah hati akut karena mungkin kamu akan menangis semalam suntuk. Kamu tidak perduli pada kerja paruh waktumu yang masih tersisa dua hari. Di pikiranmu hanya ada satu kata saat ini : menjauh.
Kamu segera mengetikan pesan pada sahabatmu.
Aku berangkat sore ini. Pastikan kamu sudah ada di stasiun saat aku datang, mengerti?
You and Him © dianayu_ar
“Jika kamu mau menginap denganku, aku mau kamu menjelaskan kenapa kamu seberantakan ini terlebih dahulu,” kata sahabatmu ketika kamu bertemu dengannya di ruang tunggu stasiun. Ketika kamu tidak menyahut, dia melanjutkan, “Kamu terlihat seperti orang yang patah hati, Nanda.”
Kalimat itu membuatmu merespon seketika. “Jika memang itu alasannya,” katamu, “bagaimana?”
“Aku akan memastikan Kiano tidak akan selamat, tentu saja.” Aya mengangkat bahu. Mendapati kamu tidak merespon lagi setelah ia menyebutkan nama itu, Aya mendengus. “Jadi begitu, ya? Kenapa dia?”
Kamu tidak menyahutinya lagi dan langsung menyeret kopormu keluar stasiun sementara Aya mengikutimu dari belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Oke, kalau kamu memang belum mau cerita.” Kamu mendengar sahabatmu berbicara. “Tapi kan lebih baik aku tau permasalahannya, kan? Mungkin besok atau bahkan hari ini, Kiano tiba-tiba muncul di penginapan kita, mengejarmu.”
Kamu otomatis mendengus. “Seperti aku punya arti penting untuknya saja.”
“Kamu gadis yang ada di sampingnya selama lebih dari sebulan.”
“Aku bukan gadis yang dipeluknya, Aya,” katamu ketika sahabatmu itu menjajari langkahmu. Detik berikutnya kamu sadar apa yang kamu katakan dan otomatis menoleh pada gadis di sampingmu itu.
Dengan seringai di wajahnya, Aya berkata, “Itu permasalahannya, kan?”
You and Him © dianayu_ar
“Aku patah hati,” tandasmu, “bukan cemburu. Kamu tau dasar perbedaannya, kan? Memangnya siapa aku? Pacar? Lelucon bagus.”
Aya yang duduk di depanmu membuka satu makanan ringan lagi dan menyodorkannya padamu. “Cemburu kan tidak harus dirasakan oleh pacar, Nanda,” sanggah sahabatmu. “Kamu juga pernah menuduhku cemburu padahal kamu tau aku dan Langit belum terikat hubungan apapun.”
“Lain kali,” Kamu mengambil beberapa potong
potato chips yang disodorkan Aya, “aku akan memikirkan baik-baik apa yang akan aku katakan padamu. Seringnya kalimat itu berbalik padaku sendiri.”
Sahabatmu tergelak. “Setidaknya, bukan aku yang memulai.”
Tiba-tiba kalian berdua mendengar dering ponsel. Itu jelas bukan ponselmu karena setelah menghubungi kedua orang tuamu bahwa kamu akan berlibur di Yogyakarta bersama Aya, kamu segera mematikan ponselmu. Mencegah gangguan jenis apapun yang menyerang ponsel dan pikiranmu ketika benda itu berdering—entah panggilan atau pesan.
Sahabatmu, Aya, menunduk mengamati nama pemanggil yang terpampang pada layar ponselnya. Ketika dia mendongak padamu, ia berucap pelan, “Langit. Boleh kuangkat?”
Kamu mengendikkan dagu, mengijinkan. Bukankah itu haknya?
Aya mengaktifkan
loudspeaker pada ponselnya dan bergeser mendekat padamu. Kamu sendiripun memberinya ruang. Patah hati atau tidak, kamu juga punya rasa penasaran mengingat orang ini berhubungan langsung dengan laki-laki yang mematahkan hatimu.
“Aya?” Kamu mendengar suara Langit dari ponsel. “Hei,
thanks kadonya.” Bagus. Ini tidak ada hubungannya dengan perasaanmu, bukan? Memang kado-untuk-Langit adalah sebab awal kamu terdampar di sini sekarang, namun itu bukan sebab utama.
Nah. Kenapa kamu, Nanda? Berharap Langit menelepon untuk menanyakan apakah kamu ada bersama sahabatmu di Yogyakarta karena permintaan Kiano? Apa kamu belum jera berangan-angan seperti itu?
“Bukan masalah,” sahut gadis yang duduk bersila di sampingmu. “Sudah? Aku sedang sibuk. Bila kamu menelepon hanya untuk berterima kasih seperti itu, aku akan tutup. Aku sudah menjawabnya, kan?”
“Tunggu, aku ingin bertanya.” Kalimat itu menghentikan jari Aya yang akan menekan
option ‘
End call’ pada ponselnya sekaligus membuatmu menahan napas sebentar.
Ini dia, batinmu. Entah kalimat berikutnya adalah sesuatu yang lain atau memang wujud khayalan tidak tau diri yang ada di otakmu, kamu tidak bisa menahan dirimu sendiri untuk tetap mendengarkan. “Apa aku bisa menyusul ke Yogya?”
Begitulah, Nanda. Gadis-gadis memang sering dilambungkan kemudian dihempaskan kembali secara sadis, bukan?
“Hah?” Sahabatmu melongo sejenak. Kamu melihat dia sudah akan mengerluarkan kalimat selanjutnya ketika tiba-tiba ada bunyi gemerisik di ponselnya.
“Aya,” Suara itu tertangkap gendang telingamu. Ya, suara itu. Suara yang membuatmu membeku seketika sekaligus kembali melambungkanmu. Tidak perduli seberapa gigih kamu menahan dirimu sendiri untuk tidak berharap, kamu akan mendapati dirimu sendiri tetap berharap. Hal yang sialan namun selalu kamu alami karena kamu tidak bisa menyangkal dirimu sendiri bahwa kamu memang menyukai—mencintai—pria ini.
“Aya?”
“Ya, Ki?” sahut sahabatmu sambil menatapmu yang masih terpaku. “Kenapa tiba-tiba kamu yang bicara bukan kakakmu itu?”
“Apa,” Kamu menahan napas mendengar kata-kata yang hendak diucapkannya, “Nanda ada denganmu? Orang tuanya bilang dia berangkat ke Yogya tadi sore.”
Kamu tidak bisa menahan dirimu untuk tidak melayang mendengar kalimat dari lelaki itu. Walaupun hatimu masih bertanya-tanya untuk apa lelaki itu menanyakan hal ini. Apakah kalimat tadi mengandung maksud romantis atau memang umum? Aoakah dia menganggapmu istimewa, seorang gadis yang ada di sampingnya dalam artian romantis ataukah hanya seorang gadis yang ada di sampingnya hanya sebagai teman yang menarik?
“Memangnya kenapa Nanda berangkat ke Yogya sore tadi?” Sahabatmu mengulurkan tangan untuk mengambil
potato chips yang ada di tanganmu. Untuk masalah ini, kamu menyerahkan sesi tanya jawab ini pada Aya sepenuhnya. “Dia masih ada kerja
part time besok dan lusa.”
“Jawab saja, ya atau tidak!” kata Kiano dengan nada keras. Kamu mengernyit. Gadis yang tengah mengunyah
potato chips di sampingmu juga mengernyit.
Namun detik berikutnya, Aya menyeringai. “Jika ini caramu bertanya, maka ini caraku menjawab.” Sahabatmu itu lalu menekan
option ‘
End call’. “Aku tidak suka dibentak,” ucap gadis itu ringan. “Kamu dengar, kan? Dia menanyakanmu.”
Kamu mengangguk pelan. “Apa dia tidak tahu kalau tidak baik melambungkan gadis yang pada akhirnya akan dia hempaskan lagi?”
“Dia laki-laki. Apa yang mereka tau soal perasaan gadis?”
Kamu menghela napas panjang. “Sebenarnya, aku tidak mau berharap lagi. Tapi dia selalu seperti itu.” Kamu membaringkan tubuhmu di tempat tidur. “Dan aku selalu saja memberikan respon yang tidak aku harapkan.”
Kamu melihat sahabatmu tersenyum tipis. “Kalau dia benar-benar menyukaimu, dia akan datang.”
Kamu tidak menyahuti ucapannya. Suasana hening sebelum suara dering ponsel kembali terdengar.
Kamu bangkit duduk bersamaan dengan saat Aya menekan option ‘Answer’ yang dilanjutkan mengaktifkan mode
loudspeaker. “Ya?”
“Oke, maaf soal caraku bertanya tadi.” Kamu langsung mendengar suara laki-laki itu. “Apa Nanda ada denganmu sekarang?”
Sahabatmu melempar senyum tipis ke arahmu sebelum ia menyahut, “Dia tidak sampai satu meter dariku.” Gadis itu melanjutkan. “Aku akan membuat perhitungan denganmu ketika kita bertemu, oke?” Lalu dengan cepat gadis itu mematikan panggilan.
“Kita lihat, apa dia akan datang,” katanya menanggapi tatapan bertanya yang ada di kedua matamu.
You and Him © dianayu_ar
Kamu tau bahwa sahabatmu, Aya, hanya ingin memperbaiki mood-mu yang rusak karena seorang lelaki yang memeluk gadis lain di depanmu. Baiklah, itu memang bukan kesalahan. Kesalahan itu sendiri terletak padamu yang tiba-tiba saja disergam perasaan cemburu yang berlebihan, tidak perduli bahwa pria itu bukan milikmu. Namun tetap saja, suasana Malioboro tidak memberikan efek yang Aya harapkan padamu.
“Pasanglah wajah yang lebih cerah, Ananda. Siapa tau ada laki-laki yang melirikmu.”
Lucu. Seperti kamu menginginkan laki-laki lain saja. Di hati dan pikiranmu, masih ada satu nama sialan yang tidak bisa begitu saja kamu enyahkan. Nama dari seseorang yang membuat hatimu patah.
“Ayolah,” kata sahabatmu lagi. “Nanti sore kita memancing, oke?”
Seperti kamu berminat melakukan kegiatan yang ada saja. Yang kamu inginkan detik ini adalah tidur. Mungkin memimpikan sebuah dongeng tentang seorang putri dan pangeran yang pada akhirnya selalu hidup bahagia selamanya. Yah, cerita semacam itu belum pernah kamu temui di dunia nyata.
Tapi kamu mencoba menghargai usaha sahabatmu untuk menghiburmu ini. Jadi kamu berusaha memasang senyum tipis di bibirmu sembari melihat-lihat aneka souvenir di sana.
Kamu tidak sadar sahabatmu tiba-tiba saja hilang dari sampingmu digantikan oleh seorang laki-laki dengan tinggi yang mendominasi sekaligus membuatmu merasa kecil bila berdiri di sampingnya. Kamu otomatis mendongak pada pria itu.
Dan jantungmu seperti berhenti berdetak. Laki-laki ini adalah laki-laki itu. Seseorang yang membuat perasaanmu kacau dan membuatmu mengambil keputusan menjauh ke kota ini sementara waktu. Tentu saja kamu pernah berpikir suatu waktu, lelaki ini menyusulmu kemari. Kamu berangan-angan seperti itu, bukan? Tapi bila pada akhirnya kamu harus menerima kenyataan dihempaskan kembali, kamu lebih memilih tidak bertemu dengannya.
“Ekspresimu lain,” ucapnya pelan.
Kamu mengumpat dalam hati. Ucapan itu mengandung perhatian pada nada suaranya, membuat jantungmu berdebar lagi dan anganmu mulai melayang lagi.
Jadi sebelum itu bertambah buruk, kamu segera meninggalkan lelaki itu di belakang punggungmu.
You and Him © dianayu_ar
Gerimis. Kamu menyesal tidak membawa jas hujan maupun payung sementara kamu terus berjalan ke arah penginapan. Berjalan. Kamu tidak berpikir untuk menggunakan jasa alat transportasi yang ada di sekitar Malioboro. Sepertinya kamu sudah menjadi linglung karena bertemu dengan lelaki itu di saat perasaanmu masih kacau. Bukannya kamu yakin tentang perasaanmu yang akan tertata kembali, tapi saat ini perasaanmu masih sangat kacau.
Ada yang mencekal pergelangan tangan kirimu. Sejenak kamu berharap itu sahabatmu. Aya. Kamu benar-benar berharap itu Aya, saat ini. Namun ketika kamu berbalik, kamu mendapati laki-laki itu yang mencekal tanganmu. Akhirnya dia menyentuhmu, bukan begitu?
“Nanda,” Kamu tidak lagi menganggap dua silabel yang muncul dari bibirmya itu semanis dulu, “kamu bertingkah seperti pacar yang cemburu.”
Lalu? Kamu mendengus dalam hati. “Lucu. Aku bukan pacarmu, kan?”
“Belum,” katanya. “Apa kamu tidak mau mendengarkanku dulu?”
“Tentang apa? Dan kenapa tiba-tiba kamu ada di Yogya, berdiri di sampingku dan megerjarku seperti ini? Bahkan disertai adegan mencekal pergelangan tangan. Ini bukan drama, Kiano.” Kamu mengatakan semua itu dalam satu tarikan napas.
“Tentang apa yang kamu lihat kemarin,” katanya. “Dan bisakah kamu tenang terlebih dahulu? Adegan ini benar-benar seperti adegan lelaki menenangkan pacar yang cemburu.”
“Itu bukan urusanku, bukan? Aku bukan siapa-siapa untukmu? Pacar? Jelas bukan,” ucapmu lagi. “Dan apa kamu gila mengajakku bicara ditengah gerimis seperti ini?”
Dia berdecak dan seketika mencengkram kedua bahumu. “Dengar. Aku tidak yakin aku bisa memindahkan pembicaraan ini ke tempat lain, oke? Kamu bertingkah seakan aku seorang kriminal,” Ia menatap langsung pada kedua matamu. “Gadis itu. Ginny. Dia menyukaiku, namun aku menolaknya karena aku sudah punya gadis lain yang kusukai. Dia meminta ijin untuk memelukku karena dia bilang dia benar-benar menyukaiku. Jadi aku mengijinkannya.”
“Apa itu urusanku?” Kamu masih tetap membalas sengit walaupun jantungmu mulai berdebar tidak menentu lagi.
“Ya itu urusanmu," tandas Kiano. “Karena gadis yang aku sukai itu sekarang tengah bertingkah tidak rasional karena cemburu sehingga aku harus datang ke Yogya untuk menyusulnya.”
Kamu tidak bisa menyahut. Bagaimanapun, kamu tidak bisa begitu saja menerima ini. Dia belum mengatakan kata-kata itu padamu. Kamu tidak bisa merimanya semudah ini.
Namun ketika akhirnya kamu membalas menatap kedua matanya yang kecoklatan, hatimu akhirnya luluh juga. Pada akhirnya, kamu memperhatikan fakta-fakta kecil antara kalian seperti aroma favoritmu yang kini tercium, detail wajahnya yang kamu sukai, gaya rambutnya yang membuat napasmu tertahan, dan yang lainnya. Juga gerimis yang menyentuh kulit kalian, dan hening di tempat kalian berdiri. Kamu tidak sadar kamu tidak sedang berada dalam keramaian pasar Malioboro.
Jadi kamu tidak bisa memprotes dengan cara apapun ketika jarak antara wajah kalian semakin dekat ataupun ketika jarak antara bibir kalian tidak bersisa sama sekali karena dia mendaratkan ciuman padamu. Ciuman pertamamu telah dicuri, dan kamu mengijinkan peristiwa ini. Kamu pasti sudah gila sekali karena mengijinkan hal ini terjadi.
Kamu sadar kamu membalas ciumannya, kemudian. Napasmu kini tinggal satu satu. Detak jantungmu sudah berantakan sedari tadi, tapi kalian belum melepaskan diri satu sama lain.
Memang tidak terkatakan, tapi kamu menyukai caranya memberitaumu bagaimana perasaannya. Karena dia adalah seorang Kiano yang apapun yang ada padanya kamu sukai—kamu cintai. Kamu tidak bisa menolaknya, tidak bisa sekalipun dia menyakiti hatimu.
Dan sampai kapanpun, kenangan ini—ketika gerimis membasahi Yogyakarta—akan selalu kamu ingat.
You and Him © dianayu_ar
END
Scene Plus
“Kamu tidak butuh kata-kata itu, kan?”
“Kalaupun aku menjawab iya, pasti kamu tidak akan mengatakannya.”
“Tentu saja. Konyol engatakan sesuatu hal yang sudah diketahui.”
“Cih.”
“Tapi, sekali saja bukan masalah.” Ia menatapmu, tepat pada kedua bola matamu. “
Love you.”