Jumat, 20 September 2013

Mereka

Kusebut orang-orang itu mereka.

Tidak. Mereka bukanlah bukan siapa-siapa, melainkan adalah beberapa sosok berharga yang tidak lepas dari kisah yang kututurkan setiap harinya. Bagimu, mungkin mereka hanyalah sekelompok nama. Namun untukku, nama-nama mereka mengiringi banyak cerita.

Awalnya, akan kukatakan jika ini bukanlah kisah yang sempurna, karena hal seperti memang tidak ada. Karena manusia pasti menyimpan suatu rahasia. Namun ketidak sempurnaan itu justru membuatku enggan lupa. Tanpa ketidaksempurnaan itu, kisah ini tidak akan pernah tercipta. Tidak akan.

Waktu itu, bulan masih baru; November tahun dua ribu sepuluh. Ada sekelompok warna yang masih tidak mengerti juga bahwa mereka akan berbagi cerita yang sama, dimana mereka akan ada di dalamnya. Coklat, Putih, Merah, Abu-abu, Merah jambu, dan Biru. Mungkin Semesta hanya memberi kesempataan sekali itu. Saat itu--hanya kali itu-- waktu, tempat, dan kalbu mau memnjadi satu. Karena kemudian kami mendapati satu warna yang hilang. Dia tersisih, dan tiba-tiba saja kami mendapati jarak kami dan dia terentang. Dia yang telah hekang berhasil membuat salju menjadi sebuah bintang. Hingga sekarang.

Itulah paragraf awal sebuah cerita sederhana. Tentang kami. Tentang aku dan mereka. Kami yang memulai semuanya dari canda, membuat semua terkenang dalam tawa sehingga memori tak akan pernah lupa pada sebuah nama. Tempat kami pernah ada bersama. Tempat awal kami memulai kisah. Tempat lima buah warna abadi dalam sebuah rupa tanpa dusta.

Radya Pustaka, permula kisah aku dan mereka.



KISAH

Lima warna terus berjalan, hingga pada suatu ketika, hujan datang. Ibarat dongeng yang kuciptakan, ada lima buah payung untuk mereka. Namun kelimanya justru memilih untuk berada dalam satu naungan yang sama. Padahal mereka mengerti, memahami dengan pasti apabila mereka tinggal bersama seperti itu, hujan semakin deras dan kemungkinan mereka basah kuyup akan semakin besar serta mereka akan saling berhimpitan. Namun mereka sama-sama berpikir, jika berada bersama-sama pada satu naungan payung, mungkin akan terasa lebih hangat. Seakaan semuanya sepakat denagn pemikiran, "Jika ada kalian, semuanya pasti baik-baik saja. Basahpun bukan sebuah masalah besar. Karena ada kalian, dunia ini jadi terasa lebih nyaman dan hangat."

Hujan masih belum pergi hingga saat ini. Sekali waktu kelimanya berpikir hujan telah reda, hujan akan datang lagi dalam sekejap mata. Namun mereka tetap berada dalam satu payung yang sama. Mungkin ada masanya ketika mereka saling dorong--sengaja atau tidak, juga bila salah satu mereka terjatuh atau sempat perpikir mencari naungan lain yang lebih lapang. Namun seperti apapun, mereka yang tersisa dalam payung di tengah hujan itu tetap menunggu yang lain kembali. Walaupun akan terasa lapang jika salah satu pergi, namun mereka tidak akan merasakan kehangatan yang sama lagi. Maka dari itu mereka yang tinggal akan tetap menunggu yang lain untuk kembali.



Mereka adalah sekelompok nama yang berharga. Rupa yang selamanya tidak akan pernah aku lupa. Pelontar canda yang mungkin akan selalu memicu tawa. Bentuk bahagia dalam wujud yang tidak kuduga.

Mereka adalah sekelompok nama yang dengan bangga aku proklamirkan sebagai sahabat, kunci lembaran buku kehidupan yang belum selesai kuketahui isinya.

Mereka adalah sosok-sosok yang membuatku pikun di usia dini tentang semua masalah, menjadikanku pecandu saat-saat kebersamaan dengan mereka, membuat kedisiplinanku menurun karena melupakan waktu yang disediakan untuk kebersamaan kita. Mereka adalah sosok-sosok yang membuatku sedikit berbangga hati karena aku punya mereka, membuatku sedikit sombong karena beranggapan bahwa jika ada mereka, duniaku akan tetap pada porosnya dan baik-baik saja walaupun merekalah yang seringnya membuatku bertindak gila.

Jika kalian bertanya, apa sahabat untukku, maka aku hanya akan menjawab dengan singkat.

Sahabat adalah..... mereka. Sesederhana itu.

Sabtu, 20 Oktober 2012

The Day

Aku berdiri di belakangnya, mencengkram kedua bahunya yang bidang dan yang kuingat sabagai bahu tempat kepalaku bersandar. Kini aku kembali disadarkan bahwa mungkin pada hari ini adalah kesempatanku yang terakhir.

Hari ini kami sudah memetik daun teh, mengambil foto-foto dan bersepeda. Nanti malam kami akan melihat kunang-kunang. Hari ini mungkin hari terakhir aku bisa menggenggam tangannya seperti dulu sebelum ia menikah minggu depan. Karena kecelakaan.

Lelaki itu menyebut namaku dengan cara yang membuat jantungku semakin berpacu. “Apa hal yang paling kamu inginkan?’ tanyanya.

“Bila gagalnya pernikahanmu tidak termasuk di dalamnya,” kataku, “aku harap satu hari kesempatanku ini tidak pernah berakhir.”

All in Her

Dua puluh satu Oktober. Hari ulang tahun orang itu dan seharian ini kami sudah memutari tiga lantai mall ini tiga kali.

“Coba yang warna madu.” Wanita ini berkata padaku dengan kening berkerut sibuk memikirkan warna kesekian untuk gaun yang cocok kukenakan. Aku menghela napas. Satu-satunya yang menahan kesabaranku adalah karena kesanggupannya untuk tidak memaksaku mengenakan gaun merah jambu.

Aku menghadiahkan dua belas jam terakhir untuk wanita ini. Itu tidak cukup dan tidak akan pernah cukup karena dia istimewa. Sangat. Tidak mudah menjadi sahabat, teman, kakak perempuan dan ibu di saat yang sama.

Sementara dia hanya menginginkanku menjadi putrinya saja. Satu-satunya.

Minggu, 26 Agustus 2012

You and Him

Kamu melihat sosok itu di kejauhan. Dia terlihat dingin, tidak perduli seperti biasanya. Kamu mengamati bahwa hari ini penampilannya sama sekali tidak berubah. Dari model rambutnya yang berwarna semi coklat hingga ujung sepatunya yang berwarna putih dan jelas-jelas melanggar peraturan sekolah. Tentu saja kamu berani berpikir seyakin itu karena kamu memang menghapal setiap detail tentangnya, tentang kebiasaannya. Entah mulai dari kebiasaannya yang tidak pernah memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana seragam hingga kebiasaannya membuat jantungmu berdebar hanya karena melihatnya berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

Baiklah, faktanya adalah kamu memang menyukainya. Mencintainya, mungkin? Serta menginginkannya ada di sampingmu setiap hari selama kamu hidup? Kamu bahkan tidak bisa membayangkan laki-laki lain untuk menjadi pendamping hidupmu kelak. Ah, kamu selalu berpikir kamu sudah gila. Gila karena laki-laki itu. Gila karena menyukainya, dan gila karena tidak bisa mengenyahkan sosoknya dari pikiran dan hatimu. Kamu bahkan tidak bisa menghilangkan bayangan wajahnya yang dingin itu ketika itu muncul di memorimu.

Kamu sudah terlanjur menginginkannya, dan kamu sangat menyadari kenyataan itu sampai-sampai sebagian otakmu yang nekat itu merencanakan untuk mengenyahkan gengsi dan mulai mendekati cowok itu. Yah, cinta memang sudah membuatmu kehilangan sedikit kenormalanmu. Itu memang cinta, kalau begitu?

Dan bagimu, cinta itu bernama Kian. Kiano Joshua. Idolamu nomor satu. Sebab utama bila tiba-tiba kewarasanmu berkurang hampir setengahnya. Alasan utama yang membuatmu tersenyum. Memang hanya sesederhana itu.

You and Him © dianayu_ar

Kamu mendecak kesal sembari mengacak rambutmu pelan. Menyadari untuk kesekian kalinya sebuah fakta yang sama sampai-sampai kamu menghapalnya di luar kepala.

Sedingin apapun cowok itu, pesonanya memang mematikan. Walaupun ketidak perduliannya—terutama pada gadis—menduduki peringkat atas dalam sejarah sekolah kalian, masih saja banyak gadis mendekatinya, mencoba merayunya dan menarik perhatiannya. Hal itu kamu anggap menyebalkan. Sebabnya?

Karena walaupun kamu termasuk salah satu gadis yang menginginkannya, kamu tidak pernah mempunyai keberanian yang dimiliki gadis-gadis itu untuk mendekatinya, menarik perhatiannya ataupun sampai merayunya. Jangankan hal seperti itu, menyapanya saja enggan kamu lakukan karena kamu khawatir ketika kamu menyebut namanya, suaramu akan terdengar jelek dan tidak menarik untuknya.

Konyol memang. Cinta memang konyol. Apa itu berarti kamu benar-benar mencintainya?

Kamu melihatnya mengacak rambutnya, membuat rambut semi coklatnya yang tebal sedikit acak-acakan. Napasmu tertahan ketika mengamati—hanya mengamati—poninya kembali jatuh ke keningnya. Astaga, kamu ternyata sudah separah itu. Bahkan melihat poninya saja kamu sampai menahan napas. Lalu apa reaksimu bila melihatnya tersenyum?

Dia tidak terlalu tampan, memang, namun ia memiliki kharisma yang membuat hampir semua gadis terpesona. Dalam hati kamu mengumpat. Sial, laki-laki itu terlalu menyilaukan dan mempesona untuk matamu walaupun fisiknya tidak semembutakan itu. Terlalu sempurna bagimu walaupun pada kenyataannya dia tidak sesempurna itu. Kamu memang sudah separah itu.

Perlahan, kamu menyuapkan makanan yang kamu beli ke dalam mulutmu, meresapi rasanya tanpa coba berkonsentrasi untuk benar-benar menikmatinya. Kali ini temanmu—sahabatmu—sedang pergi ke perpustakaan untuk mencari buku bersama laki-laki yang sudah memiliki hatinya. Kamu cemburu, jelas. Kapan kamu bisa memiliki seorang pria yang memiliki hatimu yang akan selalu ada di sampingmu?

Tiba-tiba kamu tersentak. Tanpa kamu sadari, kini ada seseorang berdiri di depanmu, menunduk memadangi aktivitasmu mengunyah makanan yang sama sekali tidak lebih menarik dibandingkan sosok di depanmu itu. Kemudian oksigenmu menghilang—menipis karena sosok di depanmu itu adalah cowok yang kamu inginkan—selalu kamu inginkan itu.

Kamu menahan karbondioksida yang akan kamu hembuskan ketika mendengar cowok itu mengucapkan namamu sebagai kata pertama yang ia gunakan untuk menyapamu.

Astaga, kamu merutuki dirimu sendiri karena bereaksi memalukan seperti ini.

“Benar kan itu namamu?” tanyanya. Kamu hanya bisa mengangguk karena otakmu sibuk memproses bagaimana laki-laki di depanmu ini mengetahui namamu sementara selama ini dia tidak pernah melirikmu sekalipun. “Aku hanya ingin mengatakan kalau aku mau duduk di sini.”

“Apa?” Kamu melongo. Ini jelas-jelas perkembangan tidak terduga dan sama sekali tidak baik untuk kesehatan jantung dan paru-parumu. Serta reputasimu karena mungkin saja hal yang paling kamu khawatirkan itu akan terjadi. Mempermalukan dirimu sendiri di hadapan laki-laki ini.

“Apa ini artinya kamu menolakku?” balas laki-laki itu sambil menatapmu dengan sepasang mata itu—mata yang kamu sukai tapi tidak berani kamu tatap.

“Bukan seperti itu,” sanggahmu kemudian namun—tentu saja—tanpa menatapnya. “Aku...” Kamu mulai mencari kosakata tambahan untuk menjelaskan tentang para gadis yang pasti akan menngerecokimu dengan berbagai pertanyaan mendesak yang tidak kamu sukai sama sekali. Detik berikutnya kamu menyerah. Pesona laki-laki ini begitu mematikan untukmu. “Apa tidak bisa kamu mengusahakan agar jantungku tetap di tempatnya dan aku bernapas sesuai prosedur seharusnya?” katamu kemudian, mengabaikan makananmu dan mendongak menatap—bukan matanya melainkan—hidungnya. Astaga, kamu masih saja berpikir bahwa hidung itu sempurna di saat-saat seperti ini.

“Dan bisakah,” dia membalas, membuat jantungmu jungkir balik lagi karena kamu menyadari dia memperhatikan ucapanmu dan menaruh perhatian pada apa yang kamu katakan, “kamu tidak berbelit-belit dalam mengatakan sesuatu. Itu membuatku bingung.”

Kamu membuang muka dan mendengus dalam hati. Laki-laki di depanmu itu benar-benar hebat karena bisa membuatmu merasa bisa sekaligus tidak bisa dalam waktu yang sama. Kamu menyadari, tentu saja, bahwa kamu bisa menyederhanakan kata-katamu tadi menjadi lebih mudah dan lebih sederhana untuk dipahami. Namun pada waktu yang bersamaan, kamu tidak bisa mengatakan kalimat sederhana itu padanya, karena...

Well, tentu saja karena penyerdehanan itu menghasilkan kalimat : aku menyukaimu.

Baiklah, itu memalukan. Apalagi bila kamu yang mengatakannya. Pada laki-laki itu. Terlebih dahulu. Kamu belum segila itu.

“Sudahlah. Aku malas menjelaskannya,” katamu pada akhirnya. “Kamu bisa duduk dimanapun. Ini tempat umum.” Lalu kamu merutuki dirimu sendiri karena setelah mendapatkan kesempatan untuk menyapa dan berbicara dengan laki-laki itu, kamu melewatkannya dengan kata-kata bernada datar khas dirimu itu. Seharusnya kamu menggunakan kata-kata yang lebih manis.

“Memang sudah seharusnya, kan?” Alis laki-laki itu terangkat, lalu dia duduk di depanmu sembari masih terus menatapmu. “Tau namaku?” tanyanya kemudian.

Kamu, yang menyadari sedari tadi bahwa ia menatapmu, mendengus. Kamu tidak menyangka laki-laki itu sepolos ini. Di waktu yang sama, kamu ingin tertawa.

Tentu saja aku tau, bodoh, kamu membatin. Aku menyukaimu! Itu alasan masuk akal kenapa tingkahku buruk seperti ini di depanmu.

Namun alih-alih mengatakan hal itu, kamu justru menyahut, “Tidak adil kalau kamu tau namaku sementara aku tidak tau namamu. Lagipula, bila aku mengatakan tidak tau, kamu pasti menganggapku lebih aneh lagi.”

Alisnya, kamu melihat, terangkat. Lagi.

“Menganggapmu lebih aneh?” beonya. “Aku tidak pernah menganggapmu aneh. Bagi sebagian orang, kamu dianggap unik. Dan, untuk menyenangkan hatimu saja, aku termasuk sebagian orang itu.”

Astaga. ASTAGA. Sejak kapan dia belajar merayu seperti ini? Jantungmu mulai bertingkah lagi dan kamu rasa saluran pernapasanmu mulai menyempit. Kamu berusaha sekali untuk bersikap normal di hadapan laki-laki ini, tidak memperdulikan kekesalanmu karena kamu selalu kehilangan napas untuk sekedar melihatnya saja.

“Apa itu rayuan?” tanyamu kemudian. Baiklah, kamu memang tidak manis sama sekali.

“Kamu menganggapnya begitu?” sahutnya. “Untukku itu hanya fakta yang akhirnya kuucapkan.”

Kamu bangkit berdiri. Sayang sekali kamu tidak bisa terlalu lama berada di sana karena sesuatu hal. Yah, sebab sebenarnya adalah karena kamu takut mempermalukan diri sendiri. Sebab kedua karena kamu ingin menghirup oksigen lagi. Sebab ketiga, laki-laki itu membawa suatu penyakit tak tertolong untukmu. Yeah, cinta.

You and Him © dianayu_ar

Seperti yang sudah kamu duga, usai kamu meninggalkan laki-laki itu menuju kelasmu kamu langsung diserbu gadis-gadis yang jumlahnya sekitar selusin yang sibuk bertanya kenapa seorang laki-laki seperti dia bisa berbicara dan bahkan bersikap ramah padamu.

Kamu tidak menjawabnya, tentu saja, karena kamu juga tidak mengetahui alasan dibalik sikap laki-laki itu. Jadi kamu hanya mengatakan kebenaran singkat itu yang tentu saja disambut gumaman sangsi dari kerumunan itu.

Sejak dulu kamu merasa gila sekali karena berani menyukai seseorang yang juga disukai oleh banyak gadis yang lebih segalanya darimu. Sejak dulu kamu selalu berpikir bagaimana jika dia tidak memilihmu. Pasti patah hati yang kamu rasakan akan menyakitkan sekali. Dia nyata namun sekaligus tidak nyata untukmu. Kamu bisa menyentuhnya, tapi kamu tidak pernah bisa melakukannya karena, yah, karena dia begitu sempurna di matamu. Keberanianmu tidak cukup untuk sekedar melakukannya.

Namun sepertinya itu sudah berlalu. Semoga.

You and Him © dianayu_ar

Apa dia—orang itu, orang yang kamu sukai itu—memang sepopuler ini? Jarak sehari dari peristiwa dia menyapamu saja kamu sudah menjadi hampir sepopuler dia. Benar, kamu. Gadis yang selalu dilirik setiap kamu melangkah kemanapun disertai dengan bisik-bisik yang entah bertopik kelebihanmu atau justru segudang kekuranganmu.

Dan fakta itu membuatmu semakin yakin bahwa apa yang kamu alami detik ini juga pasti karena sapaan laki-laki itu padamu tempo hari. Dia benar-benar sesakti ini.

“Kenapa seorang Kiano bertingkah seperti itu padamu?” tanya gadis senior paling berkuasa di sekolahmu, Clara. Toilet sekolah yang lumayan lapang inipun terasa sempit dengan kamu, sahabatmu yang kini ada di sisi kirimu dengan dua senior lain menjaganya di sisi kiri dan kanan, serta dua senior lain yang menatapmu dari atas sampai bawah. Oh ya, jangan lupakan senior paling berkuasa yang tengah memojokkanmu di dinding.

Pertanyaan yang Clara lontarkan adalah jenis pertanyaan yang dua hari ini menyesaki pikiranmu dan menyita perhatianmu.

Karenanya, kamu hanya menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala. Senior di depamu berdecak kesal. Tentu saja, sejak sepuluh menit yang lalu tidak satupun pertanyaan yang ia lontarkan menghasilkan jawaban berarti dari bibirmu. Memangnya apa yang bisa kamu jawab? Pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah sekumpulan pertanyaan yang ingin kamu ketahui jawabannya juga. Tentang kenapa seorang Kiano tau siapa namamu. Tentang kenapa Kiano bisa memilih untuk duduk di meja yang sama denganmu di kantin sekolah. Kenapa seorang Kiano bisa bersikap begitu ramah padamu padahal kalian baru pertama kali berbicara satu sama lain. Dan pertanyaan lain semacam itu.

“Kamu itu memang tidak tau atau memang tidak mau menjawab, hah?” bentak Clara tepat di depan wajahmu. Kamu tidak merasa takut atau cemas. Kamu hanya merasa risih. Kenapa di dunia nyata seperti ini ada juga adegan klise drama yang seringnya kamu saksikan di televisi? Adegan tentang penindasan siswa yang berkuasa di sekolah terhadap siswa yang menduduki kelompok nobody. Dan kini kamu merasakannya. Kamu sebagai tokohnya.

“Kakak sendiri bertanya atau menindas?” Kamu mendengar suara sahabatmu. Dan kamu langsung berpikir bahwa sahabatmu itu sudah sangat-sangat gila.

“Berani menyela?” Kamu melihat sorot mata Clara begitu menakutkan yang otomatis membuatmu merutuki sahabatmu, Aya, seketika itu juga. Kenapa ia bisa menjadi sebodoh itu? pikirmu. Jika itu karena sahabatmu sudah jatuh cinta setengah mati pada cowok bernama Langit, kamu akan pastikan Langit bertanggung jawab sepenuhnya.

Namun bayanganmu tentang bagaimana cara Clara memutilasi sahabatmu hilang seketika ketika Clara menyiramkan seember air kotor bekas mengepel lantai padamu. Kamu mengumpat dalam hati. Apa senior di depanmu itu begitu menginginkan Kian dan begitu membencimu karenanya sampai-sampai dia berbuat sesuatu hal yang begitu menjijikan ini padamu? Kalau iya, kamu pantas menjulukinya psycho.

You and Him © dianayu_ar

“Kamu sudah segila ini?” tanyamu pada sahabatmu ketika Clara dan gengnya meninggalkan kalian di toilet. Sementara sahabatmu hanya mendapat kemeja seragam yang basah kuyup, kamu mendapati dirimu sendiri basah kuyup dari kepala hingga sepatu.

“Segila apa maksud kamu?” balas sahabatmu itu. “Telingaku hanya gatal mendengar pertanyaan-pertanyaan bodohnya itu. Memangnya apa sih salahnya kalau lelaki itu seorang Kiano dan kamu seorang Ananda?”

“Apapun alasanmu, kamu tidak bisa bertindak segegabah itu,” ujarmu sambil memandangi bayangan dirimu sendiri yang dipantulkan cermin toilet. Kemejamu yang tadinya putih bersih kini kotor dan berwarna kecoklatan. Rambutmu basah, dan kotor. Bau badanmupun menjadi tidak enak. Kamu mendengus dalam hati. Jadi ini yang kamu dapatkan jika menyukai seseorang yang tidak seharusnya? “Sekarang coba pikirkan satu cara agar kita bisa pulang.”

“Tunggu sampai sekolah sepi,” kata sahabatmu itu, “lalu kita pulang. Kalau kamu malu, setidaknya aku menanggung malu yang sama.”

Kamu tidak menemukan cara lain selain apa yang sudah dikatakan sahabatmu selama lima menit berikutnya. Jadi kamu mengatakan padanya bahwa lebih baik kalian keluar sekarang. Semakin lama berada di dalam sana membuatmu kehilangan akal sehat dan kesabaran lebih banyak lagi.

“Apa yang kalian lakukan di dalam sana selama ini?” Suara itu masuk ke gendang telingamu begitu Aya membuka pintu toilet. Kamu kenal suara itu. Langit. “Kami sudah siap masuk jika kalian muncul satu detik lebih lama.”

Tunggu. Kami? Kamu tidak perlu bertanya lebih jauh lagi karena detik berikutnya, kamu melihat dengan jelas bersama siapa Langit menunggu kamu dan sahabatmu di luar toilet gadis. Laki-laki itu. Selanjutnya kamu langsung berharap agar bumi menelanmu karena itu lebih baik daripada seorang Kiano melihatmu seperti ini—dalam penampilan yang begitu menjijikan ini—sekarang.

“Kenapa tidak masuk kalau begitu?” Kamu mendengar sahabatmu membalas perkataan Langit. “Merasa terlalu jantan untuk menghentikan tingkah laku menyebalkan dari segerombolan gadis populer yang tidak tau malu?”

“Lebih tepatnya, merasa dua gadis di depanku ini bisa mengatasinya sendiri.” Langit menyahut.

“Berhentilah merayu.”

Kamu tidak habis pikir mengapa dua orang yang jelas-jelas saling menyukai di depanmu ini begitu sering terlibat adu mulut yang tidak penting sama sekali. Bukankah itu tidak adil? Sementara sahabatmu bermain tarik ulur dengan cowok yang ia sukai dan menyukainya (si cowok melakukan hal yang sama) sementara kamu justru menyukai seseorang diam-diam dan tidak pernah mendapat keberuntungan agar kamu bisa berbicara dengannya sampai kesempatan itu datang dua hari yang lalu.

Kamu menghela napas. Memang begitulah dunia.

“Nah, Kiano,” Kamu mendengar Langit berkata sambil merangkul bahu sahabatmu, “sementara aku mengantar calon kakak iparmu ini pulang, bagaimana kalau kamu melakukan hal yang sama pada Nanda?”

Napasmu tercekat untuk yang kesekian kalinya hari ini. “Kakak ipar?” beomu.

“Dia kakakku,” Kiano berucap sambil menatap ke arahmu. Menatap. Padamu. Bagus, kakimu mulai melemas lagi. “Kamu tidak tau?”

“Tidak,” sahutmu jujur. Kamu melirik ke arah sahabatmu yang baru saja berhasil melepaskan rangkulan laki-laki yang disukainya itu.

Dia balas menatapmu sambil mengangkat bahu. “Aku tau.”

Dalam hati kamu berencana melakukan pembalasan sekejam mungkin pada gadis yang merangkap sebagai teman seperjuanganmu ini karena menyembunyikan fakta tentang hubungan Langit dengan Kian. Sementara kamu hampir tidak berani membayangkan bagaimana rumah Kian, sahabatmu itu justru pernah diundang makan malam oleh Langit dua kali.

“Aku pikir kamu tau,” ujar sahabatmu itu padamu kemudian. “Bukannya kamu tau segala sesuatu tentang—“ Dia tidak sempat menyelesaikan ucapannya itu karena kamu keburu menginjak kakinya. Karena kamu tau apa kelanjutan kalimat itu. Yup, nama cowok yang berdiri tidak jauh darimu itu. Yang tiba-tiba saja mengajakmu bicara dua hari yang lalu.

“Aku tidak tau,” tandasmu sembari menerima pelototan dari Aya dan tatapan heran sekaligus tidak mengerti dari Langit dan Kian. “Mau pulang?” Kamu memasang senyum manis sekali pada Aya yang langsung menanggapi tingkahmu itu dengan mendengus. Tapi setidaknya dia mengangguk.

Dengan segera kamu melihat Langit merangkul bahu sahabatmu itu lagi. “Aku akan mengantarnya pulang.”

“Hei,” ucapmu, “kamu belum tau kalau aku dan dia itu satu paket? Tentang kamu yang berpacaran dengannya atau tidak itu bukan masalah untukku, tapi kalau kamu membawanya pergi dan meninggalkanku menanggung malu sendirian seperti ini, kamu dalam masalah, Langit.”

“Kamu tidak melihat laki-laki lain di sini?” balas Langit dengan ketenangan yang membuatmu ingin memukul kepala lelaki itu secepatnya. “Dia yang akan mengantarmu pulang. Dia laki-laki, Nanda.” Lalu pada sahabatmu, lelaki menyebalkan itu berkata sambil menariknya pergi, “Bajumu basah. Mau pakai baju olahragaku?”

Entah ini perasaanmu saja, atau Aya memang menggumamkan kalimat, “Kamu harus berterimakasih,” padamu ketika ia berjalan melewatimu. Ah, berjalan meninggalkanmu dengan Kiano lebih tepatnya. Dengan segera kamu merasakan hawa dingin menyapa kulitmu. Entah karena kamu sadar kamu hanya berada berdua dengan lelaki yang kamu sukai—atau kamu cintai—kini atau karena pakaianmu yang basah, kotor dan menjijikan dan kemudian angin berhembus.

Apapun itu, itu membuatmu merinding sesaat dan menyesal tidak membawa jaket setiap berangkat sekolah.

“Aku tidak bawa baju olahraga,” Suara itu menyusup ke gendang telingamu dengan mulus, membuatmu menoleh dengan enggan pada lelaki yang ada di sampingmu dan melihat lelaki itu tengah membuka kancing kemeja sekolahnya satu persatu, “hanya ada seragam ini.”

Kamu terkesiap. Apa yang akan dilakukan laki-laki itu dengan kemeja putihnya itu diluar pemikiranmu. Jadi kamu hanya diam saja sampai dia menyerahkan kemeja seragamnya itu padamu diiringi kata-kata, “Minimal ganti baju seragammu.”

Kamu melihat profil tubuhnya yang tinggi menjulang di depanmu. Begitu dominan bila dibandingkan dengan dirimu. Dengan baju seragamnya yang kini ada di tangannya, lelaki itu mengenakan kaus putih polos sebagai dalaman yang justru membuat profilnya semakin kamu sukai. Proses bernapasmu sempat terhenti sesaat ketika menyadari kaua itu begitu pas pada tubuh lelaki di hadapanmu.

Mungkin karena tidak kunjung menerima respon darimu, ia memperpendek jarak di antara kalian dan meraih tangan kananmu lalu meletakkan kemeja seragamnya di sana—di telapak tanganmu yang otomatis terbuka. Belum sempat kamu menormalkan proses bernapasmu, kamu sudah mendapat gangguan lain. Kali ini pada paru-paru dan kedua kakimu sekaligus.

Indera penciumanmu menangkap bau yang menempel pada sosok yang tepat ada di depanmu itu. Maskulin—perpaduan antara aroma parfum khas laki-laki dan aroma alami. Dan itu buruk. Sangat buruk untuk mencium aroma seperti itu saat ini, dari lelaki ini karena ada kemungkinan kamu akan meleleh ke lantai karena aroma itu sendiri.

“Ganti baju seragammu,” perintah lelaki itu. Nadanya tak terbantah. Sedikit bossy, menurutmu, namun kamu menyukainya karena terdengar tegas di telingamu. Hah, apapun yang ada padanya pasti kamu sukai, bukan begitu? Karena kamu mungkin memang menyukai seorang Kiano.

Kamu mengangguk patuh dan masuk ke dalam toilet.

Tepat ketika pintu menutup di belakangmu, kamu merosot ke lantai. Seperti mimpi menerima pertolongan dari dia. Karena dia begitu dingin pada hampir semua gadis yang mengelilinginya. Karena dia tidak pernah kamu bayangkan memberikan bentuk pertolongan seperti ini padamu sebelumnya. Karena dia adalah laki-laki yang kamu sukai dan mungkin kamu cintai. Karena dia adalah seorang Kiano Joshua.

Perlahan kamu berdiri dan menghela napas dalam-dalam. Setelah kamu mengisi paru-parumu dengan oksigen dan mengeluarkannya lagi—menormalkan pernapasanmu—kamu membenamkan wajahmu dalam-dalam ke kemeja putih yang ada di tanganmu dan menghirup napas di sana. Kamu merasakan aroma yang kamu hirup saat ini membuat seluruh sarafmu rileks, namun pada saat yang sama kamu merasakan tubuhmu bisa saja meleleh ke lantai.

Mulai saat ini, aroma inilah yang akan menjadi aroma favorimu. Dan ternyata kamu memang segila ini, Nanda.

You and Him © dianayu_ar

“Sedikit kebesaran, tapi lebih baik begini daripada kamu kedinginan, kan?” katanya begitu kamu keluar dari toilet. Dia tidak bertanya kenapa kamu begitu lama berada di dalam sana. Kamu bersyukur karenanya. Kamu tidak bisa menjawab bahwa kamu menghabiskan waktu dua menit penuh menikmati bau tubuhnya, kan?

Usai berkomentar seperti itu, dia berjalan terlebih dahulu ke arah mobilnya terparkir. Sementara itu kamu mengikuti dalam diam di belekangnya sembari menjinjing tas ranselmu yang kelebihan muatan hari ini.

Tiba-tiba dia berbalik, membuatmu terpaku seketika. Dia menatapmu, lalu menatap jarak tiga meter yang kamu bentangkan antara kamu dan dia. Bukankah bukan apa-apa? Hanya tiga meter. Lagipula, kamu tidak mau terlibat kesulitan bodoh lain karena terlihat terlalu dekat dengan laki-laki itu karena cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung dia bisa jadi penyebab kematianmu. Bukan hanya karena senior-senior dangkal yang menindasmu tadi, melainkan karena jantungmu sendiri yang selalu berulah aneh jika kamu terlalu dekat dengannya.

Kamu mencoba membalas tatapan matanya itu dengan sorot mata apa-yang-salah, namun kamu tidak bisa. Jadi pada akhirnya, kamu menatap hidungnya yang cukup bisa membuat napasmu tersendat.

“Kenapa lambat sekali?” tanyanya dengan nada tidak sabar. “Apa tasmu memang seberat itu?” lanjutnya sambil menghampirimu dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia merebut tas berat itu dari tanganmu.

“Hei,” protesmu seketika. Kamu sendiri sedikit terkejut dengan respon yang kamu berikan. Yah, apa boleh buat. Sikapmu memang tidak manis.

“Apa?” responnya. Kamu tidak menyahut. “Sekarang seharusnya kamu bisa berjalan lebih cepat.”

“Tasku,” ucapmu. Lalu entah darimana munculnya, sikap tidak manismu kembali ada padamu. “Aku bisa membawanya sendiri. Benda itu tidak seberat itu kok.”

“Tch.” Dia mengangkat tas ranselmu hanya dengan tangan kanan, membuatmu sedikit iri akan kekuatannya. Yah, apa boleh buat. Perbedaan gender tidak bisa begitu saja dipersetankan. “Benda ini membuatmu berjalan lambat sekali. Aku akan membawanya. Titik. Awas saja kalau kamu tetap berjalan selambat tadi.” Lalu ia berbalik.

Kamu balas mendecih pelan, namun kamu langsung mengikutinya di belakang. Jarak antara kalian memendek dengan begitu cepat. Kini ia tidak sampai satu meter di depanmu, membuatmu harus sedikit mendongak untuk menatap puncak kepalanya sekaligus membuat jantungmu mulai sedikit berulah lagi.

Tapi kali ini, kamu tidak mempermasalahkannya. Debaran ini—entah kenapa—kali ini terasa begitu menyenangkan.

You and Him © dianayu_ar

Sebenarnya, kamu memang tidak menyukai keramaian dan seringnya memilih diam saja daripada harus memulai permbicaraan dengan orang yang baru saja kamu kenal. Tapi kamu khususkan pada saat ini, kamu memilih mengajukan pertanyaan.

“Kenapa kamu bisa ada di luar toilet tadi?” tanyamu. Sejujurnya, kamu kurang menyukai memulai percakapan ini, namun bila kamu tidak memulai kemungkinan mobil akan terus hening selama perjalanan menuju rumahmu. Masalahnya adalah, kamu menyukai suaranya menarik napas. Terdengar sedikit berat di telingamu, dan itu buruk karena kamu menyukainya.

“Aku pikir kamu pendiam,” responnya. “Ternyata bisa juga memulai percakapan.”

“Sepertinya pikiranmu berbeda dengan apa yang ada.”

“Tidak juga. Beberapa fakta yang aku tahu tentang dirimu ada benarnya,” kata lelaki itu sambil menyetir mobil. “Terakhir kali aku bicara denganmu, kamu tidak mempan rayuan.”

Kamu membantah dalam hati. Terakhir kali, waktu yang disebutkan laki-laki itu, kamu bukannya tidak mempan rayuan, namun hanya tidak ingin berada terlalu lama dengan laki-laki ini agar kamu tidak mempermalukan dirimu sendiri.

“Apa ini jawaban dari pertanyaanku tadi?” katamu mencoba kembali pada topik yang kamu anggap lebih aman. Kamu tidak sadar bahwa semakin kamu menghindari topik rayuan tadi, kamu semakin terlihat keren dan acuh bagi lelaki di depanmu ini. Yah, asal dia tidak tau kenyataan kamu mencium kemeja seragamnya dua menit penuh di toilet tadi.

“Bukan,” sahut lelaki itu. “Jawabannya adalah karena kakakku itu menyeretku ke sana.” Ia terdiam. Kamu juga tidak mengeluarkan suara apapun. “Sepertinya istilah ‘menyeret’ di sini kurang tepat. Dia bilang dia lihat kamu dan Aya dihadang oleh Clara sepulang sekolah tadi dan otomatis aku dan dia menunggu kalian di luar toilet.”

“Jadi Kak Clara tadi melihatmu?”

“Dia punya dua mata. Pasti aneh bila dia tidak melihat orang yang berdiri tepat di depannya sekeluarnya dia dari toilet.” Kamu melihat ia melirikmu sekilas. “Tenang. Dia tidak akan menindasmu lagi.”

“Tentu saja,” katamu refleks. “Karena dia pasti tau kalau besok aku akan mencoba menuruti kata-katanya.”

“Kamu tidak perlu,” Ia membelokkan mobilnya ke kanan, “menuruti kata-katanya. Kamu akan seaman Aya.”

“Untung kamu menyinggung soal itu,” katamu. “Langit populer, bahkan lebih populer dari kamu, kan? Lalu kenapa sahabatku, Aya, yang setiap hari pamer kedekatan dengan Langit tetap hidup sampai sekarang?”

Ia tergelak. Hatimu meleleh karena melihat senyumnya. “Pertama, kamu menganggap Langit lebih populer dari aku. Kedua, apa kamu mengharapkan sahabatmu sendiri tidak selamat selama di SMA?”

“Apa kamu memang suka sekali mengalihkan topik?” tukasmu langsung. “Pertama, bukankah memang kenyataannya seperti itu? Kedua, menurutmu bagaimana aku menghabiskan masa SMA tanpa sahabat? Memangnya aku seaneh itu?”

“Oke, oke. Aya tetap selamat sampai saat ini karena Langit. Di hari yang sama ketika dia mendekati Aya, dia mengatakan bahwa Aya itu temannya, sahabatnya, bukan pacarnya dan siapapun yang berani menyentuhnya pasti akan langsung dibereskan oleh Langit.” Ia mengernyit sesaat. “Aku menggunakan istilah aneh lagi. Pokoknya, seperti itu.”

“Jadi karena itu selama ini mereka tidak pacaran,” gumammu. “Aku jadi tidak tau apakah Aya yang bodoh dan terlalu polos atau Langit yang memang mantan playboy.”

“Dia serius,” ucap lelaki di sampingmu. “Kakakku tidak akan bertahan dengan gadis yang dalam satu minggu tidak bisa dipacarinya. Dia serius.”

Seketika itu juga, kamu menghela napas dalam-dalam. “Jadi Aya memang sudah punya lelaki seperti itu, ya?” gumammu tanpa sadar.

“Kenapa?” Kamu baru sadar ia menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah. Dan kini dia menatapmu dengan sorot mata itu. Sorot mata yang seringnya menatap sekelilingnya tidak acuh namun di hadapanmu, sorot matanya sedalam ini. “Kamu belum menemukan lelaki seperti itu?”

Kamu tidak bisa langsung menjawab karena pikiranmu teralih sejenak ketika aroma favoritmu itu kembali masuk ke saraf penciumanmu. “Emm,” Kamu mencoba mengumpulkan fokus pikiranmu lagi, “belum. Memang aku secantik apa?”

“Secantik ini,” sahutnya. “Apa kamu belum pernah dengar bahwa di mata seorang pria, selalu ada satu sosok paling cantik untuknya? Walaupun gadis itu tidak secantik itu.”

“Aku baru dengar setelah kamu mengatakannya,” balasmu. “Dan tetap saja aku belum menemukan pria itu. Jika sudah, aku tidak akan ditindas oleh senior yang mengincarmu itu, kan?”

“Menyalahkanku?” Alis lelaki itu terangkat satu. “Tapi, Nanda,” Kamu suka caranya menyebut namamu. Dan kali ini, kamu berhasil untuk tidak melewatkan kesempatan mendengarnya menyebutkan dua silabel itu, “sepertinya kalau kamu menemukan lelaki itu, kamu tidak akan tertindas oleh orang-orang itu.”

Kini alismu yang terangkat satu. “Benar. Karena lelaki itu bukan kamu, bukan begitu?”

“Bukan,” sahutnya sambil kembali menjalankan mobil dengan sepasang mata yang kembali fokus pada jalanan di depan kalian. Namun detik berikutnya, dia menatapmu dan berkata, “karena jika itu aku, aku pasti tidak akan membiarkan hal itu.”

You and Him © dianayu_ar

A month later....
“Yogyakarta?” katamu dengan kening berkerut. “Kamu pernah bilang Bandung is better.”

But Yogyakarta is cheaper,” ucap sahabatmu sambil memasukkan setumpuk baju ke dalam kopor. “Kamu yakin tidak mau ikut? Kenapa tetap di sini selama long holiday? Karena Kiano?”

“Kenapa kalau kamu yang mengatakannya, alasan itu jadi terdengar dangkal, ya?” ujarmu sarkartis. “Aku ada kerja part time seminggu ini. Kalau mood-ku bagus, aku akan menyusul.” Kamu membantu memilah celana jeans yang akan dibawa sahabatmu. “Langit ikut?”

“Kamu pikir aku ke Yogya untuk honeymoon, nona Nanda?” Sahabatmu mendelik.

“Ternyata bukan, ya?”

Japan is better.

“Aku tau.” Kamu memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam ransel hitam milik Aya. “Lalu liburan ini, kakak beradik Kusnanta tetap di kota ini?”

Sahabatmu nampak mengingat-ingat sesuatu. “Sepertinya mereka akan kedatangan tamu dari Singapura. Rekan bisnis ayah, kalau tidak salah. Langit bilang akan anak gadis cantik yang datang.”

“Kamu mengatakan sesuatu seperti itu seringan ini?” tanyamu sangsi.

“Nanda,” ucap sahabatmu, “apapun yang kamu lihat, aku dan Langit tetap belum terikat hubungan apapun. Memangnya reaksi apa yang kamu harapkan?”

Kamu menggeleng. “Tapi kamu menyukai laki-laki itu, kan? Kamu tidak cemburu?”

“Jika kamu mendengar aku melempar baju-baju ini keluar lemari begitu mendengar kabar itu membuatmu senang,” kata Aya, “aku ikut senang.”

Seketika kamu tertawa. “Itu lebih baik. Aku tau kamu pasti cemburu.”

“Apa kamu harus sebahagia itu?” tanggap Aya sambil mendelik padamu lagi. Kamu hanya meringis. ”Sudahlah, dua jam lagi aku berangkat. Kamu sudah tau dimana aku menginap dan kamu akan menyesal bila tidak menyusul.” Ia mengerling padamu. “Sebelumnya, apa kamu dan Kiano sudah sedekat itu?”

“Kamu harus mencari ancaman yang lebih ampuh.” Kamu menarik risleting ransel hitam di hadapanmu. “Dan sedekat apa maksudmu?”

Kamu hanya pura-pura tidak tau dan hanya berbasa-basi dengan pertanyaan itu. Tentu saja kamu tau apa yang dimaksud sahabbatmu dengan ‘sedekat itu’. Sebulan terakhir, kamu menghemat uang transportasi karena Kian dengan rajin mengantarmu pulang dengan mobilnya. Banyak desas-desus tentang hubunganmu dan dia, namun tidak ada yang berani menindasmu. Entah karena enggan padamu atau karena Kian melakukan apa yang ia katakan dulu, kamu belum memastikannya.

Walaupun begitu, dia tidak pernah menggandeng tanganmu. Ada rasa syukur di sini karena kamu sendiri enggan membayangkan akibat dari genggaman tangannya pada jantung ataupun fisikmu serta mentalmu karena mungkin akan ada desas-desus baru. Namun ada juga rasa jengkel, setelah seperti ini, lelaki itu tidak pernah sekedar menyentuhmu.

Yah, kamu memang tidak terlalu mengharapkannya—mengharapkan kalian akan berakhir bersama dalam arti romantis. Baiklah, itu bohong. Kamu kini sudah melayang terlalu tinggi karena tingkah lelaki itu. Karena kata-katanya, senyumnya padamu dan tatapan matanya ketika menatapmu. Karena semua itu berasal dari seorang Kiano yang kamu inginkan, kamu sukai—dan mungkin saja kamu cintai.

“Hampir seperti aku dan Langit.” Sahabatmu memperjelas diskripsi kedekatanmu dan lelaki yang menjadi pusat duniamu itu. “Aku janji tidak akan melakukan sesuatu yang buruk padamu bila kamu jujur kalau kamu dan dia sudah pacaran.”

Kamu mendengus. “Dengar, Aya,” katamu. “Bukannya aku mempercayai ucapanmu tadi atau apa, tapi kenyataannya aku dan dia memang tidak pacaran.”

“Kamu tidak pernah bilang kalau kamu juga tertarik menjalin hubungan tanpa status.”

“Kamu juga.”

“Itu karena si bodoh itu belum mengatakannya padaku.” Sahabatmu mendengus. “Ungkapan ‘Ladies first’ tidak berlaku dalam asmara.”

“Aku juga,” ucapmu. “Dan mungkin kamu juga terlalu polos untuk mau saja dengan lelaki seperti itu.”

“Kamu juga,” balas Aya.

Kamu langsung melempar bantal sofa yang ada di dekatmu pada gadis yang menjadi sahabatmu itu. “Kenapa kakak beradik itu begitu mirip, hah?”

“Kamu tidak bertanya pada ibu mereka saja? Mungkin belau lebih tau daripada aku.”

You and Him © dianayu_ar

Kamu mengamati kotak di tanganmu itu dengan perhatian penuh. Dunia pasti sudah gila ketika seorang Cahaya Natasha, sahabatmu sendiri, memintamu mengirimkan sebuah paket hadiah ulang tahun pada seorang lelaki yang kebetulan disukai oleh sahabatmu itu. Atau mungkin kamu sendiri yang gila karena bersahabat dengan gadis itu. Entahlah, kamu tidak tau yang mana yang lebih buruk.

Akan ada paket datang hari ini, kamu membaca ulang e-mail dari sahabatmu yang kamu terima pagi ini lewat ponsel, tolong berikan pada Langit, oke? Kemarin dia berulang tahun. Kamu memang baik. Isinya adalah sesuatu yang akan membuatmu menyesal jika membukanya. Kamu mendengus untuk yang kesekian kalinya hari itu hanya karena ulah Aya. P.S. Jika kamu tidak di sini tiga hari lagi, wajah Kiano tidak akan semenarik ini lagi.

Seperti kamu perduli pada fisik Kiano saja. Akan jadi sejelek apapun laki-laki itu, kamu belum tentu akan kebal terhadap pesonanya yang memang melebihi skala pada umumnya.

Kamu menghentikan kegiatanmu memikirkan apa sebenarnya isi kotak ini dan menyambar tas slempang kecil yang kebetulan ada di dekatmu. Ada paket yang harus disampaikan, ada bonus untuk itu. Kira-kira anak bungsu keluarga Kusnanta itu sedang apa hari ini?

You and Him © dianayu_ar

Kamu mengamati interior rumah yang begitu mewah ini. Keluarga Kusnanta memang sekaya ini. Desain-nya begitu mewah namun nampak elegan. Hal itu tidak lupa membuatmu menggerutu tentang Aya yang sudah pernah kemari dua kali.

Pembantu yang tadi menyambutmu di pintu utama mengatakan bahwa kedua kakak beradik Kusnanta tengah ada di halaman belakang, bersantai di tepi kolam renang. Kamu menghela napas. Begitu kontras status ekonomi di sini. Sementara kamu bekerja paruh waktu di tempat penyewaan DVD, ada orang-orang kaya yang menghabiskan waktu luang seperti anak-anak keluarga ini.

Langsung saja kamu menuju ke pintu yang tadi ditunjuk oleh si pembantu sambil menjinjing paket dari sahabatmu. Sejenak mengumpat padanya karena paket ini begitu berat. Kamu bertanya-tanya dalam hati apa yang dimasukkan Aya ke dalam kotak seukuran kotak sepatu ini sembari mendorong pintu yang menuju ke halaman belakang agar terbuka.

Sebenarnya halaman belakang rumah ini tidak kalah mewah dari ruang tamu yang tadi sempat kamu masuki. Hanya saja, apa yang tiba-tiba menyesaki fokus matamu membuatmu tidak bisa mengagumi tatanan alam itu dalam waktu yang lama.

Kamu merasakan oksigen seperti ditarik keluar dari paru-parumu. Dadamu tiba-tiba saja merasa sesak sementara kedua matamu mulai berair. Sebesar apapun keinginanmu untuk berbalik dan pergi dari tempat itu tidak ada gunanya sekarang karena seluruh saraf di kakimu seakan lumpuh sementara pita suaramu hingga detik ini tidak bisa mengeluarkan suara apapun.

Kamu sulit memikirkan hal lain selain satu-satunya hal yang saat ini juga kamu harapkan berhasil dan hal itu adalah mencampakkan seorang Kiano dari julukan ‘pusat duniamu’ karena setelah beberapa detik terlewat lelaki itu masih saja memeluk seorang gadis. Seorang. Gadis.

Harapanmu kembali jatuh ke tanah. Akal logismu kembali kepadamu. Mana mungkin seorang Kiano bisa menyukaimu, pikirmu. Kelebihan apa yang kamu miliki? Sudah kamu duga pasti lelaki itu memiliki gadis lain yang ia sukai—dan mungkin ia cintai. Dan gadis itu bukan kamu.

“Nanda?” Kamu berkedip sekali ketika telingamu menangkap suara itu—kedipan yang berfungsi ganda untuk menyamarkan adanya air mata di kedua matamu. “Kapan kamu datang?”

Kamu tidak menanggapi ucapan Langit itu. Kamu juga tidak perduli pada laki-laki lain yang ada di sana, yang ketika mendengar Langit menyebutkan namamu, ia langsung melepaskan gadis yang dipeluknya dan berbalik padamu. Kamu tidak menggubris keadaan sekelilingmu melainkan kamu langsung berjalan lurus ke arah Langit.

“Aya bilang kamu ulang tahun kemarin,” katamu. Suaramu sedikit serak, kamu sadar itu namun kamu tidak mempermasalahkannya. “Dia kirim paket dari Yogya. Entah kenapa dia tidak mengirimnya langsung ke sini.” Kamu mengangsurkan paket yang sedari tadi membebani tanganmu.

“Terima kasih,” ucap Langit sembari menerima paket itu. Kamu tidak memperdulikan sorot khawatir yang ada di kedua mata laki-laki itu. “Mau langsung pulang? Atau tinggal sebentar di sini?”

“Langsung pulang,” sahutmu, berusaha tidak menggubris suara tarikan napas yang kamu kenal yang kini berada tidak jauh darimu. “Aku ada kerja paruh waktu, kamu tidak tahu?”

“Kuantar—“

“Aku tidak mau menyusahkanmu,” potongmu langsung kemudian berbalik. Namun detik berikutnya, kamu berbalik lagi pada Langit, lelaki yang disukai sahabatmu, “Jika aku mendengar kabar kamu bermain-main dengan sahabatku, kupastikan riwayatmu tamat, Langit Reveno Kusnanta.”

Kamu mencoba tidak berlari ataupun berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Itu pasti akan menjadikanmu tambah bodoh dan pemimpi lagi jika saja ketiga sosok itu sadar kamu mengharapkan seorang Kiano membalas perasaanmu. Perasaan suka sejak ketika kamu mengamatinya diam-diam ataupun perasaan lain yang mengikutinya kemudian.

Kamu bersyukur rumah ini tidak terlalu jauh dari jalan raya sehingga kamu tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk bisa mendapatkan alat transportasi untuk pulang. Kamu mempertimbangkan untuk menghabiskan uang di kantongmu hanya untuk mengendarai taksi agar segera tiba di rumah. Baiklah, sebenarnya kamu tidak benar-benar mempertimbangkannya karena perasaanmu sudah kacau sejak detik pertama melihat adegan pemelukan tadi.

Tepat ketika kamu mendapatkan taksi, kamu mendengar suara itu. Suara yang biasanya dingin dan tak acuh itu. Namun kamu bertekad untuk tidak mempermalukan dirimu lebih banyak lagi, jadi alih-alih berbalik dan menghadapi laki-laki itu kamu justru segera masuk ke dalam taksi, menyebutkan alamat rumahmu dan meminta supir taksi agar segera menjauh dari tempat itu.

Dadamu terasa menyesakkan karena air matamu enggan mengalir turun lagi. Jadi, kamu membatin, beginilah rasanya patah hati. Lebih menyakitkan daripada penggambaran pada umumnya, bukan begitu?

Jika diibaratkan, orang yang kamu sukai itu bagaikan oksigen. Jadi ketika kamu merasakan patah hati yang otomatis membuat orang yang kamu sukai itu seperti bukan untukmu lagi, kamu merasakan oksigen seakan ditarik dari paru-parumu. Tidak heran rasanya begitu menyesakkan, kan?
Pikiranmu kembali melayang pada angan-anganmu yang berisikan pikiran tentang Kiano yang membalas perasaanmu. Begitu irasional, kamu akhirnya menyadari. Laki-laki itu bahkan tidak pernah menyapamu sebelum peristiwa satu bulan yang lalu. Kamu bahkan ragu dia menyadari eksistensimu sebelum itu dan kamu tetap mengharapkan dia menyukaimu—dan bahkan mencintaimu.

Love is blind. Benar. Love makes someone becomes a fool. Sepenuhnya benar.

Detik ini juga, kamu memutuskan untuk berlibur—menjauh sejenak. Itu lebih baik, kamu pikir, daripada kamu diketahui menderita patah hati akut karena mungkin kamu akan menangis semalam suntuk. Kamu tidak perduli pada kerja paruh waktumu yang masih tersisa dua hari. Di pikiranmu hanya ada satu kata saat ini : menjauh.

Kamu segera mengetikan pesan pada sahabatmu.

Aku berangkat sore ini. Pastikan kamu sudah ada di stasiun saat aku datang, mengerti?

You and Him © dianayu_ar

“Jika kamu mau menginap denganku, aku mau kamu menjelaskan kenapa kamu seberantakan ini terlebih dahulu,” kata sahabatmu ketika kamu bertemu dengannya di ruang tunggu stasiun. Ketika kamu tidak menyahut, dia melanjutkan, “Kamu terlihat seperti orang yang patah hati, Nanda.”

Kalimat itu membuatmu merespon seketika. “Jika memang itu alasannya,” katamu, “bagaimana?”

“Aku akan memastikan Kiano tidak akan selamat, tentu saja.” Aya mengangkat bahu. Mendapati kamu tidak merespon lagi setelah ia menyebutkan nama itu, Aya mendengus. “Jadi begitu, ya? Kenapa dia?”

Kamu tidak menyahutinya lagi dan langsung menyeret kopormu keluar stasiun sementara Aya mengikutimu dari belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Oke, kalau kamu memang belum mau cerita.” Kamu mendengar sahabatmu berbicara. “Tapi kan lebih baik aku tau permasalahannya, kan? Mungkin besok atau bahkan hari ini, Kiano tiba-tiba muncul di penginapan kita, mengejarmu.”

Kamu otomatis mendengus. “Seperti aku punya arti penting untuknya saja.”

“Kamu gadis yang ada di sampingnya selama lebih dari sebulan.”

“Aku bukan gadis yang dipeluknya, Aya,” katamu ketika sahabatmu itu menjajari langkahmu. Detik berikutnya kamu sadar apa yang kamu katakan dan otomatis menoleh pada gadis di sampingmu itu.

Dengan seringai di wajahnya, Aya berkata, “Itu permasalahannya, kan?”

You and Him © dianayu_ar

“Aku patah hati,” tandasmu, “bukan cemburu. Kamu tau dasar perbedaannya, kan? Memangnya siapa aku? Pacar? Lelucon bagus.”

Aya yang duduk di depanmu membuka satu makanan ringan lagi dan menyodorkannya padamu. “Cemburu kan tidak harus dirasakan oleh pacar, Nanda,” sanggah sahabatmu. “Kamu juga pernah menuduhku cemburu padahal kamu tau aku dan Langit belum terikat hubungan apapun.”

“Lain kali,” Kamu mengambil beberapa potong potato chips yang disodorkan Aya, “aku akan memikirkan baik-baik apa yang akan aku katakan padamu. Seringnya kalimat itu berbalik padaku sendiri.”

Sahabatmu tergelak. “Setidaknya, bukan aku yang memulai.”

Tiba-tiba kalian berdua mendengar dering ponsel. Itu jelas bukan ponselmu karena setelah menghubungi kedua orang tuamu bahwa kamu akan berlibur di Yogyakarta bersama Aya, kamu segera mematikan ponselmu. Mencegah gangguan jenis apapun yang menyerang ponsel dan pikiranmu ketika benda itu berdering—entah panggilan atau pesan.

Sahabatmu, Aya, menunduk mengamati nama pemanggil yang terpampang pada layar ponselnya. Ketika dia mendongak padamu, ia berucap pelan, “Langit. Boleh kuangkat?”

Kamu mengendikkan dagu, mengijinkan. Bukankah itu haknya?

Aya mengaktifkan loudspeaker pada ponselnya dan bergeser mendekat padamu. Kamu sendiripun memberinya ruang. Patah hati atau tidak, kamu juga punya rasa penasaran mengingat orang ini berhubungan langsung dengan laki-laki yang mematahkan hatimu.

“Aya?” Kamu mendengar suara Langit dari ponsel. “Hei, thanks kadonya.” Bagus. Ini tidak ada hubungannya dengan perasaanmu, bukan? Memang kado-untuk-Langit adalah sebab awal kamu terdampar di sini sekarang, namun itu bukan sebab utama.

Nah. Kenapa kamu, Nanda? Berharap Langit menelepon untuk menanyakan apakah kamu ada bersama sahabatmu di Yogyakarta karena permintaan Kiano? Apa kamu belum jera berangan-angan seperti itu?

“Bukan masalah,” sahut gadis yang duduk bersila di sampingmu. “Sudah? Aku sedang sibuk. Bila kamu menelepon hanya untuk berterima kasih seperti itu, aku akan tutup. Aku sudah menjawabnya, kan?”

“Tunggu, aku ingin bertanya.” Kalimat itu menghentikan jari Aya yang akan menekan optionEnd call’ pada ponselnya sekaligus membuatmu menahan napas sebentar. Ini dia, batinmu. Entah kalimat berikutnya adalah sesuatu yang lain atau memang wujud khayalan tidak tau diri yang ada di otakmu, kamu tidak bisa menahan dirimu sendiri untuk tetap mendengarkan. “Apa aku bisa menyusul ke Yogya?”

Begitulah, Nanda. Gadis-gadis memang sering dilambungkan kemudian dihempaskan kembali secara sadis, bukan?

“Hah?” Sahabatmu melongo sejenak. Kamu melihat dia sudah akan mengerluarkan kalimat selanjutnya ketika tiba-tiba ada bunyi gemerisik di ponselnya.

“Aya,” Suara itu tertangkap gendang telingamu. Ya, suara itu. Suara yang membuatmu membeku seketika sekaligus kembali melambungkanmu. Tidak perduli seberapa gigih kamu menahan dirimu sendiri untuk tidak berharap, kamu akan mendapati dirimu sendiri tetap berharap. Hal yang sialan namun selalu kamu alami karena kamu tidak bisa menyangkal dirimu sendiri bahwa kamu memang menyukai—mencintai—pria ini.

“Aya?”

“Ya, Ki?” sahut sahabatmu sambil menatapmu yang masih terpaku. “Kenapa tiba-tiba kamu yang bicara bukan kakakmu itu?”

“Apa,” Kamu menahan napas mendengar kata-kata yang hendak diucapkannya, “Nanda ada denganmu? Orang tuanya bilang dia berangkat ke Yogya tadi sore.”

Kamu tidak bisa menahan dirimu untuk tidak melayang mendengar kalimat dari lelaki itu. Walaupun hatimu masih bertanya-tanya untuk apa lelaki itu menanyakan hal ini. Apakah kalimat tadi mengandung maksud romantis atau memang umum? Aoakah dia menganggapmu istimewa, seorang gadis yang ada di sampingnya dalam artian romantis ataukah hanya seorang gadis yang ada di sampingnya hanya sebagai teman yang menarik?

“Memangnya kenapa Nanda berangkat ke Yogya sore tadi?” Sahabatmu mengulurkan tangan untuk mengambil potato chips yang ada di tanganmu. Untuk masalah ini, kamu menyerahkan sesi tanya jawab ini pada Aya sepenuhnya. “Dia masih ada kerja part time besok dan lusa.”

“Jawab saja, ya atau tidak!” kata Kiano dengan nada keras. Kamu mengernyit. Gadis yang tengah mengunyah potato chips di sampingmu juga mengernyit.

Namun detik berikutnya, Aya menyeringai. “Jika ini caramu bertanya, maka ini caraku menjawab.” Sahabatmu itu lalu menekan optionEnd call’. “Aku tidak suka dibentak,” ucap gadis itu ringan. “Kamu dengar, kan? Dia menanyakanmu.”

Kamu mengangguk pelan. “Apa dia tidak tahu kalau tidak baik melambungkan gadis yang pada akhirnya akan dia hempaskan lagi?”

“Dia laki-laki. Apa yang mereka tau soal perasaan gadis?”

Kamu menghela napas panjang. “Sebenarnya, aku tidak mau berharap lagi. Tapi dia selalu seperti itu.” Kamu membaringkan tubuhmu di tempat tidur. “Dan aku selalu saja memberikan respon yang tidak aku harapkan.”

Kamu melihat sahabatmu tersenyum tipis. “Kalau dia benar-benar menyukaimu, dia akan datang.”

Kamu tidak menyahuti ucapannya. Suasana hening sebelum suara dering ponsel kembali terdengar.

Kamu bangkit duduk bersamaan dengan saat Aya menekan option ‘Answer’ yang dilanjutkan mengaktifkan mode loudspeaker. “Ya?”

“Oke, maaf soal caraku bertanya tadi.” Kamu langsung mendengar suara laki-laki itu. “Apa Nanda ada denganmu sekarang?”

Sahabatmu melempar senyum tipis ke arahmu sebelum ia menyahut, “Dia tidak sampai satu meter dariku.” Gadis itu melanjutkan. “Aku akan membuat perhitungan denganmu ketika kita bertemu, oke?” Lalu dengan cepat gadis itu mematikan panggilan.

“Kita lihat, apa dia akan datang,” katanya menanggapi tatapan bertanya yang ada di kedua matamu.

You and Him © dianayu_ar

Kamu tau bahwa sahabatmu, Aya, hanya ingin memperbaiki mood-mu yang rusak karena seorang lelaki yang memeluk gadis lain di depanmu. Baiklah, itu memang bukan kesalahan. Kesalahan itu sendiri terletak padamu yang tiba-tiba saja disergam perasaan cemburu yang berlebihan, tidak perduli bahwa pria itu bukan milikmu. Namun tetap saja, suasana Malioboro tidak memberikan efek yang Aya harapkan padamu.

“Pasanglah wajah yang lebih cerah, Ananda. Siapa tau ada laki-laki yang melirikmu.”

Lucu. Seperti kamu menginginkan laki-laki lain saja. Di hati dan pikiranmu, masih ada satu nama sialan yang tidak bisa begitu saja kamu enyahkan. Nama dari seseorang yang membuat hatimu patah.

“Ayolah,” kata sahabatmu lagi. “Nanti sore kita memancing, oke?”

Seperti kamu berminat melakukan kegiatan yang ada saja. Yang kamu inginkan detik ini adalah tidur. Mungkin memimpikan sebuah dongeng tentang seorang putri dan pangeran yang pada akhirnya selalu hidup bahagia selamanya. Yah, cerita semacam itu belum pernah kamu temui di dunia nyata.

Tapi kamu mencoba menghargai usaha sahabatmu untuk menghiburmu ini. Jadi kamu berusaha memasang senyum tipis di bibirmu sembari melihat-lihat aneka souvenir di sana.

Kamu tidak sadar sahabatmu tiba-tiba saja hilang dari sampingmu digantikan oleh seorang laki-laki dengan tinggi yang mendominasi sekaligus membuatmu merasa kecil bila berdiri di sampingnya. Kamu otomatis mendongak pada pria itu.

Dan jantungmu seperti berhenti berdetak. Laki-laki ini adalah laki-laki itu. Seseorang yang membuat perasaanmu kacau dan membuatmu mengambil keputusan menjauh ke kota ini sementara waktu. Tentu saja kamu pernah berpikir suatu waktu, lelaki ini menyusulmu kemari. Kamu berangan-angan seperti itu, bukan? Tapi bila pada akhirnya kamu harus menerima kenyataan dihempaskan kembali, kamu lebih memilih tidak bertemu dengannya.

“Ekspresimu lain,” ucapnya pelan.

Kamu mengumpat dalam hati. Ucapan itu mengandung perhatian pada nada suaranya, membuat jantungmu berdebar lagi dan anganmu mulai melayang lagi.

Jadi sebelum itu bertambah buruk, kamu segera meninggalkan lelaki itu di belakang punggungmu.

You and Him © dianayu_ar

Gerimis. Kamu menyesal tidak membawa jas hujan maupun payung sementara kamu terus berjalan ke arah penginapan. Berjalan. Kamu tidak berpikir untuk menggunakan jasa alat transportasi yang ada di sekitar Malioboro. Sepertinya kamu sudah menjadi linglung karena bertemu dengan lelaki itu di saat perasaanmu masih kacau. Bukannya kamu yakin tentang perasaanmu yang akan tertata kembali, tapi saat ini perasaanmu masih sangat kacau.

Ada yang mencekal pergelangan tangan kirimu. Sejenak kamu berharap itu sahabatmu. Aya. Kamu benar-benar berharap itu Aya, saat ini. Namun ketika kamu berbalik, kamu mendapati laki-laki itu yang mencekal tanganmu. Akhirnya dia menyentuhmu, bukan begitu?

“Nanda,” Kamu tidak lagi menganggap dua silabel yang muncul dari bibirmya itu semanis dulu, “kamu bertingkah seperti pacar yang cemburu.”

Lalu? Kamu mendengus dalam hati. “Lucu. Aku bukan pacarmu, kan?”

“Belum,” katanya. “Apa kamu tidak mau mendengarkanku dulu?”

“Tentang apa? Dan kenapa tiba-tiba kamu ada di Yogya, berdiri di sampingku dan megerjarku seperti ini? Bahkan disertai adegan mencekal pergelangan tangan. Ini bukan drama, Kiano.” Kamu mengatakan semua itu dalam satu tarikan napas.

“Tentang apa yang kamu lihat kemarin,” katanya. “Dan bisakah kamu tenang terlebih dahulu? Adegan ini benar-benar seperti adegan lelaki menenangkan pacar yang cemburu.”

“Itu bukan urusanku, bukan? Aku bukan siapa-siapa untukmu? Pacar? Jelas bukan,” ucapmu lagi. “Dan apa kamu gila mengajakku bicara ditengah gerimis seperti ini?”

Dia berdecak dan seketika mencengkram kedua bahumu. “Dengar. Aku tidak yakin aku bisa memindahkan pembicaraan ini ke tempat lain, oke? Kamu bertingkah seakan aku seorang kriminal,” Ia menatap langsung pada kedua matamu. “Gadis itu. Ginny. Dia menyukaiku, namun aku menolaknya karena aku sudah punya gadis lain yang kusukai. Dia meminta ijin untuk memelukku karena dia bilang dia benar-benar menyukaiku. Jadi aku mengijinkannya.”

“Apa itu urusanku?” Kamu masih tetap membalas sengit walaupun jantungmu mulai berdebar tidak menentu lagi.

“Ya itu urusanmu," tandas Kiano. “Karena gadis yang aku sukai itu sekarang tengah bertingkah tidak rasional karena cemburu sehingga aku harus datang ke Yogya untuk menyusulnya.”

Kamu tidak bisa menyahut. Bagaimanapun, kamu tidak bisa begitu saja menerima ini. Dia belum mengatakan kata-kata itu padamu. Kamu tidak bisa merimanya semudah ini.

Namun ketika akhirnya kamu membalas menatap kedua matanya yang kecoklatan, hatimu akhirnya luluh juga. Pada akhirnya, kamu memperhatikan fakta-fakta kecil antara kalian seperti aroma favoritmu yang kini tercium, detail wajahnya yang kamu sukai, gaya rambutnya yang membuat napasmu tertahan, dan yang lainnya. Juga gerimis yang menyentuh kulit kalian, dan hening di tempat kalian berdiri. Kamu tidak sadar kamu tidak sedang berada dalam keramaian pasar Malioboro.

Jadi kamu tidak bisa memprotes dengan cara apapun ketika jarak antara wajah kalian semakin dekat ataupun ketika jarak antara bibir kalian tidak bersisa sama sekali karena dia mendaratkan ciuman padamu. Ciuman pertamamu telah dicuri, dan kamu mengijinkan peristiwa ini. Kamu pasti sudah gila sekali karena mengijinkan hal ini terjadi.

Kamu sadar kamu membalas ciumannya, kemudian. Napasmu kini tinggal satu satu. Detak jantungmu sudah berantakan sedari tadi, tapi kalian belum melepaskan diri satu sama lain.

Memang tidak terkatakan, tapi kamu menyukai caranya memberitaumu bagaimana perasaannya. Karena dia adalah seorang Kiano yang apapun yang ada padanya kamu sukai—kamu cintai. Kamu tidak bisa menolaknya, tidak bisa sekalipun dia menyakiti hatimu.

Dan sampai kapanpun, kenangan ini—ketika gerimis membasahi Yogyakarta—akan selalu kamu ingat.

You and Him © dianayu_ar
END


Scene Plus

“Kamu tidak butuh kata-kata itu, kan?”

“Kalaupun aku menjawab iya, pasti kamu tidak akan mengatakannya.”

“Tentu saja. Konyol engatakan sesuatu hal yang sudah diketahui.”

“Cih.”

“Tapi, sekali saja bukan masalah.” Ia menatapmu, tepat pada kedua bola matamu. “Love you.”

Selasa, 21 Agustus 2012

Love Melodies | BONUS! Chapter : Special PARTY! Melodies

Five days later...

“Ya?”

Aya! Ke rumah gue buruan!

“Nan, jarang banget guru-guru ada rapat dan sekolah libur. Lo nggak bisa biarin gue bangun siang? Ini masih jam... sembilan pagi.”

Ck, acaranya jam lima. Astaga, buruan. Gue tunggu. Sekarang!

Tut tut tut...

Love Melodies © dianayu_ar

“Sebaiknya kamu punya alasan bagus selain karena masalah kostum hari ini, ya,” ucap Aya setibanya ia di kamar sahabatnya. “Aku udah bilang kan kalo aku bakal pake baju kasual?”

“Kebanting, Ya. Kamu sadar kek.” Nanda melemparkan salah satu gaun yang ada dalam lemarinya ke atas tempat tidur. “Kamu masih tidur, ya?”

“Udah aku duga aku salah setuju buat nemenin kamu ke pesta itu.” Aya membaringkan dirinya di tempat tidur Nanda dan menarik bantal untuk alas kepalanya. “Sementara kamu belum ngucapin makasih sama sekali.”

“Kamu mau ucapan makasih?”

“Nggak. Aku mau tidur.”

“Hei,” Mendengar itu, Nanda langsung menarik Aya agar bangun. “Awas lo kalo tidur lagi. Ngapain kek sana. Cobain heels punyaku. Milih gaun ini, nyoba tatanan rambut, atau apalah.”

Tiba-tiba ponsel Aya berbunyi. Lagu 4 Seasons mengalun pelan. Setelah sekilas melirik siapa peneleponnya, gadis itu menekan optionAnswer’,

“Please bilang kalau costume code-nya diganti jadi casual,” kata Aya pada ponselnya. “Aku lebih milih nggak datang.”

Di seberang, Langit tertawa. “Tapi kamu harus, kan? Jangan sampai ngecewain sahabatmu sendiri, Aya.”

“Sahabat yang mana?” tanya Aya sambil melirik Nanda yang sudah sibuk dengan koleksi pakaiannya lagi.

“Keduanya. Kian dan Nanda.”

“Oh, jadi yang seperti adikmu itu bisa disebut sahabat, begitu?”

“Sudahlah. Aku hanya ingin mengingatkan acaranya jam lima.”

“Berhenti mengingatkanku soal hal itu,” ucap Aya ketus. “Kamu nggak tau di sampingku sekarang udah ada orang yang dengan sukarela mengingatkanku setiap satu menit sekali? Jasamu nggak dibutuhkan lagi.”

Langit terkekeh. “Satu lagi. Kamu dan Nanda boleh pakai pakaian kasual ke sini.”

Kedua mata Aya membulat. “Beneran?” tanyanya memastikan. “Kalau kamu jawab iya aku bakal pertimbangkan untuk bersikap baik sama kamu malam ini.”

“Asal kalian datang jam lima tepat.” Terdengar suara gemerisik sesaat. “Ne, Aya? Adikku ingin bicara.”

Kemudian seketika suara Kian terdengar dari seberang saluran telepon.

“Heh, gadis aneh, kamu sedang bersamanya?”

“Kalo kamu hanya ingin menanyakan itu, aku akan tutup teleponnya,” ucap Aya. “Cowok jelek,” tambahnya.

“Aku dan Langit sedang mempertimbangkan untuk mengirim mobil jemputan, tau,” sungut Kian di seberang. “Jawab saja pertanyaan yang ada.”

“Kamu ternyata bisa lebih cerewet daripada kakakmu ya,” komentar Aya. “Ya. Kasual, kan? Oke, oke.”

“Tidak usah dandan atau apapun,” kata Kian kemudian. “Bersikap saja seperti kalian berdua akan ke mall atau sebangsanya.”

“Oke.”

“Ngomong-ngomong,” ucap Kian hati-hati. “Dia... suka warna apa?”

“Hah?” Aya menatap Nanda yang kemudian balas menatapnya juga dengan alis terangkat satu. “Tanyakan saja sendiri. Apa gunanya kamu minta nomor ponselnya sih?”

“Heh, jangan keras-keras. Bagaimana kalau dia dengar, hah?” Kian gelagapan sementara Aya mendengar Langit terbahak. “Kamu ini memang bodoh atau bagaimana sih?”

Nanda menatap sahabatnya yang kini metapanya dengan geli. Nanda mengendikkan dagunya, menanyakan siapa yang kini tengah berbicara dengan Aya itu.

“Ki-an,” kata Aya tanpa suara. Seketika sepasang mata Nanda membulat.

“Dia sudah dengar tau,” ucap Aya. Seketika tawanya tersembur keluar. “Oke, tanyakan sendiri kalau begitu.” Kemudian gadis itu menyerahkan ponselnya pada Nanda.

“Tanya apa?” ucap Nanda pada ponsel seketika. Di seberang, Kian tersentak. Keputusannya untuk bertanya pada Aya memang sebuah kesalahan. Sudah sejak kemarin cowok itu tau kalau Aya memang suka sekali menggodanya dengan Nanda, tapi ini murni sebuah keterpaksaan. Memang pada siapa lagi ia harus bertanya soal Nanda selain pada Aya atau... Nanda sendiri? Nanda sudah jelas tidak akan ia tanyai. Astaga, Kian masih punya urat malu!

“Kamu...” Kian berdeham sekali. “Datang, kan?” Suaranya sudah normal kembali.

Kini giliran Nanda yang tercekat. Suara Kian yang berhadapan dengannya secara langsung dan suara Kian saat di saluran telepon sedikit berbeda. Memang, sejak pertama mendengar suara Kian, Nanda sudah berpendapat bahwa suara cowok itu dalam dan seksi. Tapi di telepon suara Kian justru terdengar lebih seksi lagi. Dan kali ini Nanda tidak punya alasan untuk menahan perbahan ekspresi pada wajahnya.

Aya melihat pipi sahabatnya itu bersemu. Gadis itu mengernyit heran, penasaran apa yang dikatakan Kian si-cowok-gengsian di telepon itu pada sahabatnya.

“Ya.” Nanda bersyukur sekali suaranya cukup terdengar normal saat ini. “Kamu hanya ingin menanyakan ini? Pada Aya?”

“Kalian akan dijemput pukul empat,” kata Kian mengabaikan pertanyaan Nanda. Lagipula, pertanyaannya sendiri tidak terjawab. Memang dia tidak pernah bertanya hal itu pada Nanda, tapi tetap saja pertanyaan yang sangat ingin ia dapatkan jawabannya tetap tidak terjawab. “Kasual.”

“Kamu bilang—“

Tut tut tut...

Nanda memandangi layar ponsel yang ada di tangannya sebelum ia menoleh pada Aya yang menatapnya dengan salah satu alis terangkat. “Katakan kenapa aku suka sama cowok ini?”

Aya mengangkat bahu. “Karena kamu selalu lupa cara menarik napas dengan benar ketika kamu melihat wajahnya?” ujar Aya menawarkan opsi jawaban. “Karena kamu selalu blushing walaupun cuma dengar suaranya?” Ia mengambil ponselnya kembali. “Aku bisa menyajikan banyak alasan untuk pertanyaanmu itu, Nan.”

“Ambil satu yang mewakili semuanya.” Nanda bergerak membereskan baju-baju yang tadi ia emparkan keluar dari lemari pakaiannya.

Aya nampak berpikir sesaat sebelum ia mengangkat bahu dan berkata, “Mungkin kalian punya benang merah yang sama?” Seketika Nanda melemparnya dengan baju-baju yang tadi berhasil dikumpulkannya.

“Udah. Jangan diulang lagi! Lama-lama gue nggak butuh blush-on nih.”

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

“Kita nggak salah masuk rumah nih, Ya?”

“Kalo kita coba nyari rumah mereka sendirian sih aku bakal setuju kalo kita salah rumah, Nan,” balas Aya. “Tapi ini kenyataannya kita dijemput sopir mereka nih. Masak iya kita bisa salah rumah.”

“Tapi...” Nanda melihat sekeliling lagi. Tatanan alam di sekelilingnya benar-benar membuatnya terkesima dan semakin memperkuat keyakinan bahwa desas-desus keluarga Kusnanta adalah keluarga kaya adalah hanya sekedar desas-desus saja. Kenyataannya adalah ternyata keluarga Kusnanta bisa disebut keluarga sangat sangat kaya!

Keduanya berjalan menyusuri jalan selebar tiga setengah meter ke arah pintu utama. Sopir yang tadi mengantar mereka langsung minta diri untuk ke bandara, sesuai perintah yang diberikan. Di sisi kiri dan kanan jalan itu ditanami beraneka jenis bunga yang tidak hanya cantik namun juga indah dan tertata rapi sesuai jenis, bentuk dan warna bunga.

“Ya,” panggil Nanda mengalihkan perhatian sejenak untuk menatap sahabatnya, “kita beneran nggak salah kostum, kan?”

“Sekarang aku nggak terlalu yakin dengan keputusanku pakai pakaian kasual,” kata Aya sekilas melirik apa yang ia kenakan : sepatu kets, celana jeans, kemeja. Sementara itu, Nanda mengenakan kaos, celana jeans dan flat shoes. “Kita balik aja kali, ya?”

“Naik apaan?”

“O iya.”

Pintu depan langsung terbuka tepat ketika Nanda dan Aya melangkah pertama kali ke teras depan yang mewah. Langit dan Kian sendiri yang membuka pintu itu.

“Kami nunggu dari tadi, tau,” ucap Kian sambil membentangkan pintu lebih lebar.

“Nggak. Aku nggak tau,” balas Nanda sambil berbalik memunggungi pintu utama, mencoba melihat hamparan bunga aneka warna di hadapannya. “Obyek fotografi yang bagus...” desisnya.

“Pestanya udah mulai?” tanya Aya pada dua cowok di depannya. Ia melihat baik Langit maupun Kian hanya mengenakan celana jeans dan kaos. “Beneran nih temanya kasual? Bukannya bakal ada rekan bisnis orang tua kalian juga yang dateng?”

“Siapa yang bilang temanya kasual?” balas Langit. “Costume code-nya tetep formal kok. Dan pestanya mulai jam tujuh.”

“Hah?” seru Nanda seketika berbalik lagi menghadap kakak beradik keluarga Kusnanta itu. “Ini ngerjain berarti?”

“Bukan,” sahut Langit. “Kami cuma berpikir, ini pesta kami dan kalian tidak perlu susah cuma buat hadir di pesta ini, kan?”

“Ya tapi nggak dengan kayak gini, Kak,” ujar Nanda frustasi. Bagaimana ia bisa tampil sesederhana ini di depan umum di pesta cowok yang ia sukai? “Ini namanya mempermalukan diri sendiri.”

“Masuk dulu,” ajak Langit.

“Anter pulang aja,” kata Aya. “Nanda bener. Ini namanya mempermalukan diri sendiri.”

Tiba-tiba Langit menariknya masuk, sepersekian detik setelah Kian menarik Nanda masuk. Keduanya menutup pintu bersamaan.

Baik Aya maupun Nanda tidak bisa bereaksi secepat yang mereka inginkan agar bisa keluar dari rumah itu karena begitu mereka masuk, mereka terkesima. Ruangan yang menyambut mereka begitu luas dan begitu.... berkelas. Ada tangga yang lebar menuju lantai dua dan tangga itu dilapisi karpet hingga ke pintu depan. Di samping tangga ada piano warna hitam dan biola sementara di sisi lain tangga ada panggung kecil. Bukan jenis panggung sederhana dan murah, yang pasti, seperti yang biasa kedua gadis itu jumpai. Di sisi kiri pintu utama ada beberapa baris meja yang diatur memanjang, yang mereka duga untuk tempat hidangan pesta.

Sejenak, Nanda dan Aya merasa seperti menghadiri sebuah prom.

Keduanya menurut saja ketika Langit dan Kian menggandeng lengan mereka dan menarik mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Pegangan tangga itu bahkan berseni dan memiliki nilai yang pasti cukup tinggi. Ukirannya begitu rumit namun cantik.

Nanda dan Aya baru sadar ketika mereka tiba di depan sebuah ruangan di balik pintu kamar di lantai dua.

“Aku mau yang ini gaya rambutnya nature saja,” ujar Langit sambil merangkul Aya. Yang dirangkul diam saja ketika mengamati apa yang ada di dalam ruangan itu, mungkin dia lebih ke kemungkinan tidak sadar ketika Langit melakukan hal itu. “Dia sendiri juga tidak suka gaya rambut yang macam-macam. Mungkin bagus juga bila sedikit dirapikan. Soal dress dan sepatu, suruh saja dia pakai yang sudah aku siapkan.” Langit nampak berpikir sesaat. “Dan tolong jangan suruh dia pakai sepatu yang heels-nya terlalu tinggi. Lainnya terserah kamu saja.”

“Tunggu-tunggu.” Aya mengalihkan perhatiannya dari sederet gaun selutut yang ada di sisi kanannya ke arah Langit dan seketika menyadari dimana tangan kiri cowok itu berada. Di bahunya. “Tangan,” ucapnya memperingatkan. Langit langsung menurunkan tangannya. “Ini ada apa sebenarnya?”

“Mencegah kamu mempermalukan diri sendiri,” bisik Langit tepat di telinga gadis di sampingnya itu.

Aya menoleh ke arah kiri dan melihat wajah Nanda yang kini dilapisi warna merah dadu. Bukan karena blush on, Aya yakin, tapi karena itu adalah reaksi dari aksi Kian yang terus menggenggam tangan gadis itu sedari tadi.

“Aku serahkan pada kamu aja,” kata Kian pada hairstylist di depannya. “Aku yakin kamu sudah tau karena Langit sudah menjelaskan rincian singkatnya.” Hairstylist itu mengangguk mengerti. “Intinya hanya satu,” lanjut Kian. “Buat gadis ini,” Ia mengangkat tangannya yang masih menggenggam tangan Nanda, “lebih cantik.”

Nanda merasakan wajahnya semakin panas sementara dia yakin tangannya justru semakin dingin. Ia menoleh ke arah sahabatnya dan mendapati Aya juga tengah menatapnya. Telinganya menangkap kata-kata Langit beberapa patah.

“...Pelayanan terbaik, tentu saja. Jangan salah memberikan gaun pada mereka. Gaun untuk gadis ini berwarna merah marun....”

Nanda menoleh kembali pada cowok di sampingnya ketika cowok itu memanggil namanya.

Dan seketika Nanda membeku. Wajah cowok itu begitu dekat dengan wajahnya, hanya beberapa senti. Seketika kedua pasang kaki yang Nanda miliki melemas.

“Sampai jumpa dua jam lagi,” bisik Kian tepat di telinganya. Dengan jarak sedekat itu, bahkan Nanda harus berusaha sekuat tenaga untuk mengangguk.

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

“Hei, hyung,” panggil Kian. “Kenapa mereka lama sekali?”

“Mana aku tahu,” balas kakaknya. “Memangnya aku tahu apa soal apa yang gadis-gadis lakukan sebelum pergi ke pesta?”

“Seharusnya tidak perlu selama ini,” kata Kian. “Mereka berdua kan hanya butuh make-up tipis seperti apa yang kamu katakan. Tapi,” Ia melirik arloji yang ada pergelangan lengan kirinya, “ini sudah lebih dari dua jam.”

“Lebih lima belas menit, Ki.”

“Berapapun itu.” Kian menyesap minuman di gelas yang ada di tangannya. “Memangnya kamu tidak khawatir, hyung? Kamu benar-benar menyukai gadis itu, kan?”

“Kenapa kamu tidak pernah menyebut namanya?” tanya Langit sambil melirik adiknya itu. “Satu-satunya yang aku khawatirkan hanyalah apa tidak apa-apa Aya memakai sepatu itu. Kemarin dia sempat jatuh ketika memakai high heels.”

“Itulah kenapa aku sering menyebutnya aneh.”

“Unik,” ralat Langit.

“Terserah.”

Pesta sudah dibuka lima belas menit yang lalu, namun kedua gadis itu belum juga terlihat menuruni tangga sementara sebentar lagi orang itu akan tiba. Ya, orang itu.

“Dia sebentar lagi datang,” ucap Kian.

“Aku tau. Aku akan ke atas menjemput Aya kalau begitu,” sahut Langit. Tepat setelah ia berkata begitu, sepasang matanya menangkap dua sosok gadis menuruni undakan. Kian juga menatap pada fokus yang sama.

Nanda tampak begitu anggun dalam balutan gaun selutut bertali bahu spagetti berwarna hijau tosca. Rambutnya yang sedikit melewati bahu diikat ke samping dan wajahnya diberi make up tipis namun tetap saja membuat wajahnya seperti bersinar. Kian mengamati bahwa gadis itu mengenakan kalung yang ia siapkan. Kalung sederhana dengan huruf ‘N’ sebagai bandulnya. Di pergelangan lengan kiri gadis itu terdapat beberappa aksesori gelang yang warnanya senada dengan warna gaun yang dikenakannya.

Tatapan Kian terfokus pada gadis itu. Ia bahkan hampir lupa untuk menyambut gadis itu di landing tangga dan mengulurkan tangannya.

Sementara itu reaksi Langit tidak jauh berbeda dengan reaksi adiknya. Fokusnya hanya pada Aya yang mengenakan gaun warna merah marun yang dipilihkannya untuk gadis itu. Panjangnya tepat selutut dan ada renda di bagian roknya—membuat kesan rok pada gaun itu seperti berlapis. Rambut gadis itu dibiarkan tergerai dengan poni menyamping ke kanan. Tepat seperti apa yang Langit harapkan. Untuk aksesoris, Langit hanya menyediakan tiga gelang warna putih dan merah marun untuk lengan kiri gadis itu—yang kini juga ada pada tempatnya.

Langit melangkah ke landing tangga setelah sebelumnya menyikut rusuk Kian agar adiknya itu sadar apa yang harusnya ia lakukan.

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

Baik Nanda maupun Aya mencoba berjalan menuruni tangga seanggun mungkin. Itu adalah sebuah tantangan tersendiri bagi mereka karena pada undakan ke tujuh dari atas, orang-orang yang sudah mulai memenuhi ruang pesta mulai memberi mereka perhatian. Ditambah lagi tatapan dua cowok tampan yang tidak pernah teralih dari mereka sejak mereka menuruni undakan pertama.

Nanda harus menahan diri ketika dilihatnya Kian ada dalam balutan tuksedo. Cowok itu memang terlihat seperti biasanya—tampan dan sedikit angkuh serta tak acuh—namun dalam pakaian itu, di mata Nanda, kharisma yang ada pada Kian naik beberapa tingkat. Dan bisa dipastikan ia akan sering kehilangan napas di depan cowok itu malam ini.

Aya menerima uluran tangan Langit ketika ia sampai di landing tangga. Sedikit bersyukur karena kini ada yang memegang tangannya. Ia jadi tidak bergantung spenuhnya pada dirinya sendiri bila tiba-tiba saja kakinya sudah tidak mau berkolaborasi dengan sepasang high-heels warna putih yang kini ada di kakinya.

Nanda merasakan darah mengaliri wajahnya ketika Kian menggandeng lengan kirinya usai menyambutnya di landing tangga.

Malam ini kedua cewek itu benar-benar seperti menghadiri suatu prom dengan mereka sebagai ratunya.

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

“Minum?”

“Tempat duduk, please. Thank you.

“Tidak bisa, Aya,” ucap Langit sambil mengambilkan Aya segelas minuman. “Kamu sedang bersamaku, yang artinya kamu dan aku bersama. Oke?”

“Sandiwara apa sih yang kalian mainkan?” tanya Aya.

“Aku hanya minta tolong padamu agar kamu menyelamatkan aku malam ini,” kata Langit. “Rekan bisnis orang tuaku membawa setiap anak gadis yang mereka miliki, kamu tau?”

“Dan ada acara dansa setelah ini,” sambung Kian. “Jadi, Nanda, kamu pasti juga sudah tau apa yang harus kamu lakukan, kan?”

Nanda mencoba menahan dirinya untuk tidak ternganga. Dia dan Kian.... “Dansa?”

Kian menyodorkan gelas minuman di tangannya itu dengan kernyitan di keningnya. “Lebih tepatnya, jangan jauh-jauh dariku.”

Argh! Nanda memang mengharapkan Kian mengucapkan kata-kata itu tapi tidak sekarang. Tidak dengan pesta sebagai latar belakangnya. Astaga, sebenarnya cowok itu benar-benar menyukainya atau tidak? Aya bilang, Kian menyukainya, tapi Nanda belum menerima kata itu dari yang bersangkutan.

“Ki,” ucap Langit dengan kedua matanya tertuju pada pinu utama, “dia datang.”

Seketika fokus Kian, Nanda, dan Aya beralih ke fokus yang sama dengan Langit. Sesosok gadis yang sepertinya berumur dua puluhan memasuki ruangan pesta. Nampak menyilaukan karena wajahnya yang sangat cantik dan gaunnya yang sangat indah. Sebenarnya penambilan gadis itu bisa dibilang sederhana karena gaun yang ia kenakan berpotongan sederhana dengan bahu terbuka dan make up yang ia kenakan pun hanya make up tipis. Namun tetap saja gadis itu berhasil menyita seluruh perhatian orang yang ada di ruangan ini.

Gadis cantik itu tersenyum ketika tatapannya berhenti pada Kian. Ia bergegas menghampiri cowok itu.

Nanda menahan napas ketika profil gadis cantik itu sampai di hadapan cowok yang ia sukai, gadis itu memeluk Kian. Hatinya sedikit berdesir. Siapa gadis ini? tanyanya dalam hati.

Perhatian si gadis cantik beralih pada Langit yang berdiri di samping Aya. Cowok itu menatap gadis tadi dengan alis terangkat dan senyum di bibirnya. Lalu lengan cowok itu terbuka dan gadis cantik yang menyita perhatian setiap pasang mata yang ada di ruangan itu menghambur ke pelukannya.

Long time no see,” ucap gadis itu dalam pelukan Langit.

Hm. How are you?” Langit balas memeluk gadis itu.

Ketika itu, Aya merasakan ada yang jatuh dalam dirinya. Melihat cowok yang memperlakukanmu seperti seorang gadis paling istimewa dalam hidupnya memeluk gadis lain tepat di hadapanmu-lah yang membuat sesuatu dalam dirimu itu jatuh. Aya melirik Nanda. Apa sahabatnya itu juga merasakan hal yang sama? Apa itu berarti perasaannya pada Langit seperti perasaan Nanda pada Kian?

“Merasakan sesuatu?” bisik Kian di sampingnya. Aya menoleh ke samping dan ia melihat Nanda juga mendengarkan perkataan Kian. Kian meraih lengan sahabatnya itu dan menariknya agar mendekat ke arah Kian dan Aya. “Dia memang spesial untuk kami berdua. Tapi dia bukan seseorang yang bisa kami ajak berkencan.”

“Lagipula,” lanjut cowok itu hanya pada Nanda. “selisih umur kami tiga tahun. Dia sudah setua itu.”

“Lalu?” balas Nanda.

“Lalu? Itu berarti kami tidak akan berkencan, oke?” Kian tidak melepaskan tangannya dari tangan Nanda. “Berhentilah bertingkah seakan kamu tidak perduli. Itu memberi kesan kalau kamu cemburu, kamu tau?”

Sial, umpat Nanda dalam hati. Sejelas itukah?

“Aku tidak cemburu, Tuan Kiano Joshua Kusnanta,” kata Nanda semeyakinkan mungkin. “Apa aku berhak untuk cemburu? Memang siapa aku?”

“Kenapa kamu selalu mengulang pertanyaan yang sama ketika kamu cemburu?” tanya Kian. “Apa aku harus jujur terlebih dahulu agar kamu berhenti mengeluarkan kalimat itu?”

“Jujur?” Alis Nanda terangkat. Ia sepertinya tidak menyadari dimana tangan kirinya berada sekarang. Ia terlalu fokus dengan beberapa topik lain seperti : siapa gadis yang memeluk Langit dan Kian tadi. “Kalimat apa?” Ia menyesap minumannya.

“Siapa kamu,” jelas Kian. “Apa aku harus mengatakan bahwa kamu adalah orang yang aku inginkan ada di sampingku?”

Nanda tersedak. Seketika ia menyadari dimana tangan kirinya berada sekarang dan itu semakin memepermalukan dirinya. Wajahnya mulai bersemu. Namun setidaknya saat ini ia bisa beralasan bahwa itu hanya pengaruh blush on.

Sementara itu, Aya bertingkah seolah-olah permainan biola di panggung kecil sangat menarik. Ia menyesap minumannya perlahan, mencoba menghilangkan rasa kering di tenggorokannya.

“Aya?”

Aya menoleh seakan dia tidak keberatan melihat Langit merangkulkan lengan kirinya di bahu gadis cantik tadi. Hal yang sama terjadi pada Aya tidak sampai tiga jam yang lalu. Oleh laki-laki yang sama.

“Ini Jenny,” kata Langit menunjuk gadis cantik di sebelahnya. “Jen, ini Aya.”

Gadis itu tiba-tiba menyikut rusuk cowok di sampingnya. “Bukan karena sekarang kamu lebih tinggi dariku kamu jadi berhenti memanggilku ‘kakak’, adikku sayang.”

Aya berkedip sekali. Dua kali. Dan dia merutuki dirinya sendiri. Cemburu pada kakak cowok itu sendiri, eh? Tunggu. Cemburu?

“Kakakmu?” bisik Nanda. Ia menginjak kaki kanan Kian kemudian. Cowok itu mengaduh pelan. “Berhentilah menggodaku, Kian.”

Kian hanya meringis.

Aya mengulurkan tangan kanannya pada gadis cantik di depannya. Bibirnya menyunggingkan senyum. “Cahaya,” katanya.

Gadis yang disebut sebagai Jenny balas tersenyum dan menyambut uluran tangan Aya. “Jennifer,” balasnya. “Jadi apa kamu sempat merasa cemburu?”

“Cemburu?” Aya mengernyit, mencoba mengontrol ekspresi wajahnya agar gadis di depannya ini tidak berpikir bahwa pertanyaannya memiliki jawaban ‘benar’.

“Kamu teman kencan Langit, kan?”

“Aku?” ulang Aya. Kalimat itu memudahkan pengontrolan ekspresinya. Kini ia benar-benar ingin tertawa. “Bukan, Kak. Aku bukan teman kencannya kok.”

Jennifer mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Wow,” ucapnya dengan ekspresi takjub. “Kuberitahu kalau begitu, Langit pasti sangat menyukaimu.”

“Kak,” ucap Langit memperingatkan.

“Kenapa? Kamu merasa malu?” kata Jennifer. “Bagus bila akhirnya ada gadis yang membuatmu seperti itu.” Lalu ia berbalik pada adiknya yang kedua. “Kiano,” katanya. Ia menernyit sesaat. “Kenapa kamu kesakitan?”

“Apa?” Kian dan Nanda berucap bersamaan.

“Kamu memang tidak sesopan Langit,” ujar Jennifer sambil menghampiri Nanda. “Tidak memperkenalkanku pada gadismu.”

Gadisnya? Nanda mengangkat salah salah satu alisnya.

“Jenny,” Jennifer mengulurkan tangan kanannya pada Nanda. “Dan katakan apa Kian yang membelikan gaun itu padamu?”

Nanda menyambut uluran tangan di depannya itu. “Nanda,” katanya. “Sepertinya begitu. Entahlah, mungkin tidak.”

“Kupastikan iya,” sanggah Jennifer. “Jadi, adikku yang manis ini akhirnya tertarik pada seorang gadis, hm?” Ia menggoda Kian yang langsung membuang muka.

“Berhentilah menggoda kami dan cepat berilah satu-dua kata untuk tamu-tamu ini, kakak cantik,” ujar Langit sambil merangkul kakaknya lagi.

“Agar acara dansa segera dilangsungkan?” balas kakaknya sambil melepaskan diri dari rangkulan Langit. “Okay.”

“Sudah kubilang, berhenti menggoda kami.”

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

“Kamu yakin kamu tidak mau berdansa?” tanya Langit untuk kesekian kalinya. “Kak Jen bahkan berhasil mendapat pasangan untuk ini.”

“Kalau Kak Jenny saja berhasil mendapatkan pasangan,” Aya menyahuti pertanyaan Langit, “kamu pasti akan mendapatkan pasangan dengan mudah.”

“Aku tidak tertarik berdansa dengan mereka.”

“Lalu kamu akan mengatakan kalau kamu hanya tertarik berdansa denganku, begitu?”

“Tidak. Aku sebenarnya akan mengatakan jika aku hanya tertarik padamu.”

Aya terdiam. Setelah sekian kali Langit merayunya, baru kali ini ia merasakan reaksi yang berbeda dari dirinya sendiri. Ia merasakan wajahnya mulai panas.

“Sekarang coba katakan padaku,” ujar Langit. “Pipimu itu bersemu karena blush on atau karena ucapanku?”

“Apa kamu sudah sepercaya diri itu sampai-sampai kamu benari berpendapat bahwa ucapanmu berhasil membuat pipiku bersemu?” Aya memutar kalimat sebagai jawabannya. Ia hanya enggan mengatakan kenyataan. Bagaimana jika ia mengatakan jawaban positif, laki-laki ini justru mencari gadis lain yang lebih menarik?

“Behentilah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Aya.”

“Ngomong-ngomong,” kata Aya, mencoba mencari topik lain, “kakakmu cantik.”

“Begitu? Terima kasih,” sahut Langit dengan senyumnya. Entah kenapa jantung Aya tiba-tiba berdebar ketika melihatnya. “Gadis kencanku yang lain tidak pernah memujinya seperti ini. Mungkin mereka pikir, mereka lebih cantik dari dia.” Ia melanjutkan, “Kekurangan kalimat pujianmu adalah, kenapa kamu tidak pernah memujiku?”

“Dan membuatmu besar kepala?” balas Aya. “Nggak, makasih.” Gadis itu mencoba kembali ke topik semula. Jennifer. “Jadi, dia dua tahun di atasmu, benar? Sekarang dia kuliah dimana?”

“Kanada,” jawab Langit. “Dia ijin beberapa hari untuk menemani aku dan Kian di sini. Apa boleh buat, pangkatnya tepat di bawah orang tuaku.”

“Orang tuamu sendiri nggak datang?”

“Kalau mereka datang, bukan Kak Jen yang memberikan sambutan tadi.” Ia mengamati Jennifer yang bergerak mengelilingi area dansa dengan gerakan yang anggun bersama laki-laki entah siapa. “Liburan keluarga saja dilewatkan, apalagi hanya pesta kepindahan.”

Aya tidak menyahut. Ia sudah menduga pasti Langit sama seperti anak orang kaya pada umumnya. Rumah sebesar inipun pasti tidak pernah diisi dengan kenangan keluarga.

“Aku suka kakakmu,” ungkap Aya lagi. “Sepertinya dia kakak yang baik.”

“Dia memang seperti itu,” kata Langit. “Aku dan Kian sangat bergantung padanya. Jangan salahkan siapapun, dia memang lebih perduli daripada ibuku sendiri.”

“Kalimatmu salah,” bantah Aya. Langit mengangkat alis kanannya. “Kak Jenny hanya lebih sering ada di dekatmu daripada Ibumu. Aku yakin ibumu sendiri nggak kalah perduli dibandingkan kakakmu sendiri.”

Langit tersenyum. “Terima kasih,” katanya. “Akhirnya aku bertemu gadis sepertimu juga.”

“Kali ini,” Aya balas tersenyum pada cowok itu, “aku akan anggap itu pujian, bukan rayuan.”

Senyum Langit semakin lebar. Sepasang matanya menangkap Kian dan Nanda yang tengah berdansa di tengah ruangan. “Sepertinya setelah kamu bersikap seperti ini padaku, bicara denganmu lebih menyenangkan daripada berdansa.”

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

“Gerakanmu sudah lumayan,” ucap Kian. Ia tadi harus mengajari Nanda berdansa terlebih dahulu dan memberi instruksi bagaimana gerakan dansa ini pada gadis itu.

“Makasih,” sahut Nanda sambil menunduk melihat kakinya. Selain ingin memastikan agar kakinya tidak menginjak kaki cowok yang tengah bersamanya, ia juga enggan mendongak menatap wajah di hadapannya.

“Instruksi berikutnya,” kata Kian. “Ketika berdansa harus ada kontak mata antar pasangan.” Ia tersenyum tipis. “Lagipula, Nanda, kakiku tidak akan apa-apa.”

Nanda menghela napas pelan, lalu ia mendongak. Napasnya sedikit tercekat ketika matanya bertemu dengan sepasang mata kecoklatan milik Kian. Astaga, hal ini akan semakin mempermalukan dirinya sendiri!

Sudah sejak gerakan pertama dansa tadi Nanda menahan diri agar bisa tetap berdiri. Sejak gerakan pertama ketika Kian mengulurkan tangan padanya, mengajaknya berdansa yang kemudian menyusul gerakan berikutnya dimana ia menyambut uluran tangan itu. Lalu ketika Kian menempatkan tangannya di tempat seharusnya pada slow dance ini.Kemudian bisikan Kian tepat di telinganya yang menyuruhnya agar ia melingkarkan kedua lengannya pada leher cowok itu. Itu saja nyaris membuatnya meleleh ke lantai. Siapa dia, yang akhirnya bisa berdansa dengan seorang Kiano Joshua?

Nanda melemas lagi ketka mengingat fakta bahwa kini kedua tangan Kian ada di pinggangnya. Apalagi sejak sepuluh menit yang lalu ia terus mencium aroma favorit-nya—aroma tubuh Kian. Baginya, aroma tubuh cowok itu begitu menenangkan. Bagaimana aroma tubuh seseorang bisa memberikan efek yang begitu banyak—tenang, kehilangan oksigen, mempercepat denyut jantung dan membuatnya tidak bisa memikirkan hal lain—padanya adalah pertanyaan yang belum bisa ia temukan jawabannya.

Dan Nanda tidak bisa memikirkan cara lain agar ia tidak semakin mempermalukan dirinya sendiri hanya dengan mencium wangi tubuh cowok di depannya itu selain dengan cara membenamkan wajahnya ke dada cowok itu dan menghirup napas di sana. Tapi tentu saja hal itu tidak ia lakukan. Dia belum segila itu hanya karena jatuh cinta setengah mati pada seorang Kiano Joshua.

“Aku suka caramu menatapku,” ungkap Kian.

Deg! Tubuh Nanda sedikit menegang. Cowok ini memang berbakat mengirimnya ke ruang ICU!

“Aku suka kedua bola matamu,” balas Nanda. Apa boleh buat. Ia harus membuat otaknya berpikir dan mulutnya berbicara jika ia tidak ingin terlihat lebih memalukan lagi di mata seorang Kiano.

“Aku suka rambutmu,” kata Kian sambil tersenyum, tidak menduga gadis di depannya itu akan membalas kata-katanya.

“Aku suka senyummu.” Nanda membalas setelah sedetik tertegun. Apa yang dia ucapkan itu fakta. Kebenaran. Apa sesungguhnya yang ia rasakan.

Kian mengangkat alisnya. “Aku suka namamu.”

“Aku suka sikap cuekmu.”

“Aku suka sikap malu-malumu.”

“Aku suka tanganmu.”

“Aku juga suka tanganmu,” balas Kian. “Tanganmu begitu pas di genggamanku, bukan begitu?”

Nanda tidak bisa membalasnya. Otaknya terlanjur tidak bisa memikirkan apapun. Tanganmu begitu pas di genggamanku... Apa ini termasuk rayuan?

“A-aku suka gaya rambutmu,” ucap Nanda kemudian setelah memaksakan otaknya berpikir satu kalimat itu.

“Aku suka cara pipimu bersemu,” kata Kian. “Bagaimana kalau aku persingkat saja semuanya? Aku menyukai apapun yang ada padamu.”

Aku membenci bagaimana kamu membuatku tidak bisa berkata-kata, Kiano Joshua. Tapi ini menyenangkan.

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

Have a nice dance?” tanya Aya ketika Nanda menghampirinya.

Have a romantic chat?” balas Nanda sambil duduk di sebelah sahabatnya itu. “Mana Kak Langit?”

“Mau mengurus beberapa hal sebelum acara akhir,” jawab Aya. “Mana Kian?”

“Mengambil sesuatu yang entah dimana.” Nanda melihat Jennifer sedang tertawa bersama laki-laki yang tadi berdansa dengannya di meja minuman. Pandangan beralih pada sesosok laki-laki yang menaiki panggung kecil. “Ya, itu kak Langit.”

Aya mengikuti arah yang ditunjuk oleh sahabatnya dan melihat Langit menginstruksikan beberapa hal pada pemain alat musik pop di sana. Gadis itu bertanya-tanya apa yang sedang cowok itu lakukan di atas sana. Pertanyaannya akan segera terjawab.

Ne, Hikari,” kata Langit sambil mendekatkan bibirnya pada microphone, “I have two songs for you who love Japanesse.” Ia tersenyum sekilas ke arah Aya. “A day dreaming.”

Tatoeba soba ni iru kimi ga. Nanika de kuzuresou ni nattara,” Tatapan Langit kini tertuju sepenuhnya ke arah Aya, membuat gadis itu menjadi salah tingkah. “Nanimo iwazu ni boku ga, sotto te wo sashinoberu darou.Kono sora no shita de okoru kiseki wo. Zutto mitsumete itai.”

“Hikari?” tanya Nanda pada sahabatnya yang kini memfokuskan diri pada penampilan Langit. “Aya?”

Hikari,” ucap Aya. “Bahasa Jepang. Artinya cahaya.”

“Buat kamu?”

“Sepertinya.” Tanpa sadar, Aya tersenyum ke arah cowok itu.

....Stay with me, terewarai ukabetada soba ni itai dake.

“Tetap bersamaku, aku ingin tersenyum cerah dan hanya tinggal di sampingmu,” gumam Aya. “Si playboy itu. Kenapa membuatku ingin sekali memanggilnya Langit sekarang?”

“Apa?” Nanda mengernyit. Namun Aya tidak mengatakan apapun hingga lagu itu berakhir.

He has a crush in you,” desis Nanda. “Kamu tau artinya? Lagu itu?”

“Aku tau. Cukup tau apa inti yang dia katakan.” Aya menghela napas. “Aku jadi penasaran lagu apa berikutnya.” Sementara itu, orang-orang mulai merapat ke arah panggung untuk melihat penampilan yang tersaji di sana.

Intro lagu itu terdengar. Seketika Aya mematung sementara Nanda ternganga pada detii kedua.

“Ya, ini ringtone ponselmu, kan?” seru Nanda tertahan. “Astaga. Kak Langit tau darimana ya kira-kira?”

“Bukan dari kamu?”

“Aku nggak pernah ngasih tau dia soal ini.”

Aya terdiam. Lagu 4 Seasons memang lagu Jepang kesukaannya dan ia mengguanakannya sebagai ringtone. Namun fakta ini hanya Nanda yang tau. Lalu kenapa...

Inti lagu ini adalah tetap bersama meski musim terus berganti. Summer, autumn, winter dan spring. Lalu... astaga.

Let’s have an unforgetable kiss?” gumam Aya setengah geli setengah kesal. “Dia sudah segila itu, ya?”

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

Nanda tengah berjalan di taman bunga di halaman depan. Tadi seorang pelayan menyampaikan pesan bahwa Kian menunggu di sini. Entah apa yang akan cowok itu lakukan. Cowok itu cukup aneh. Sebentar Kian membuat irama jantungnya kacau, detik berikutnya cowok itu justru bersikap seakan tidak perduli dengannya.

Cowok itu juga tidak romantis. Sementara kakak cowok itu menyanyikan lagu—dua lagu—untuk Aya, Kian justru hilang entah kemana. Ia mulai meragukan lagi apakah kata-kata Aya bahwa Kian menyukainya itu benar-benar fakta.

Pikiran Nanda terputus seketika ketika ia melihat Kian duduk di bangku ditengah-tengah bunga. Dan cowok itu tengah menatap ke arahnya. Irama jantung Nanda mulai kacau lagi.

“Ada apa?” tanya Nanda setibanya ia di samping Kian dan duduk di samping cowok itu.

“Apa temanmu pingsan setelah kakakku menyanyikan lagu untuknya?”

“Kamu tau?”

“Kakakku berlatih untuk itu.”

Nanda mengangguk-angguk. “Kakakmu romantis,” komentarnya, setengah menyindiri pada adiknya yang tidak memiliki kepribadian yang sama. Ia merutuki dirinya kenapa masih saja menyukai cowok yang tidak romantis seperti Kian.

“Dan aku tidak. Aku tau itu.”

“Aku nggak bilang seperti itu.”

“Itu tersirat. Tidak apa-apa. Itu benar,” Kian menatap lurus ke depan sementara Nanda meliriknya. “Aku memang tidak bisa bernyanyi untuk siapapun di depan umum. Apalagi untukmu. Tapi aku tetap bisa bernyayi jika itu hanya untukmu.”

“Apa?” Nanda terperangah ketika mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir Kian. Ia tambah terperangah lagi ketika Kian mengeluarkan sebuah MP3 Player dari sakunya.

“Untukmu. Dengarkan saja.” Ia mengulurkan benda itu ke arh Nanda, kemudian Kian bangkit berdiri.

“Tunggu,” ucap Nanda. Tangannya refleks menarik tangan Kian yang memberikan MP3 Player padanya. “Temani aku hingga selesai mendengarkan.”

“Aku tidak perlu mendengarkan suaraku sendiri.”

“Tapi aku perlu mendengarkan bersamamu,” ucap Nanda. “Ayolah, Kian.”

Nanda merasakan tangan cowok di genggamannya sedikit menegang ketika ia mengucapkan nama cowok itu.

“Jika saja ini bukan kamu....” gumam Kian sebelum ia kembali duduk di sebelah Nanda.

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

“Kamu mempermalukan dirimu sendiri,” kata Aya. “Dan ‘Hikari’?” Ia mendengus. “Kalau begitu, kamu adalah ‘Sora’.”

“Itu memang nama panggilanku ketika aku di Jepang dulu.” Langit menyeringai.

“Kenapa memilih lagu itu?”

“Ungkapan perasaanku sendiri. Jika aku mengucapkannya secara langsung, pasti kamu akan menganggap aku sedang merayu.”

“Itu benar, tapi—“

“Sudahlah. Kali ini jangan protes padaku. Aku sudah menyanyikan dua lagu untukmu, jadi bersikaplah manis padaku.”

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar

Stand by me?” ucap Nanda ketika mengenali melodi pembuka lagu pertama dalam MP3 itu.

From me to you,” sahut Kian. “Artikan sendiri lagu itu.”

“Aku tau.” Pipi Nanda bersemu. “From you to me. Apa ini benar-benar seperti itu?”

Kian tidak menyahut. Ia tetap duduk di samping Nanda yang mendengarkan tiga lagu di dalam MP3 itu hingga habis.

Nanda tertegun ketika lagu berakhir. Napasnya tercekat. Irama jantungnya mulai lebih cepat. Oksigennya mulai menghilang. Suara ini....

Ini pertama kalinya aku bernyanyi untuk seorang gadis. Bagaimana jadi yang pertama, hm, Nanda? Aku sedang mempertimbangkan untuk menjadikanmu yang terakhir juga. Bagaimana menurutmu?"

Love Melodies | PARTY! Melodies © dianayu_ar
END
Special for @putrintanr ‘s 17th birthday on 19082012 from @dianayu_ar